Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Sabtu, 31 Desember 2016

Molod dan Mulut: Sisi Lain Tradisi Maulid

Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan yang penuh berkah bagi orang-orang Madura. Bukan karena pesta panien, bukan pula karena musim hajatan, tapi merupakan momentum perayaan maulid nabi yang berlangsung sepanjang bulan. Bukan hanya masjid, bukan pula sekedar langgar-langgar, ataupun madrasah-madrasah, hampir setiap rumah di Madura, sesuai kesanggupan dan kedudukan si tuan rumah, maulid selalu digelar. Bulan maulid benar-benar bulan yang penuh dengan pesta pora aneka makanan dan buah-buahan.
Bulan ini dikenal dengan sebutan bulan Molod oleh orang-orang Madura. Ada dua istilah yang seakar dalam bahasa Arab, tetapi memiliki makna yang berbeda, yaitu maulid dan maulud. Maulid adalah waktu atau tempat kelahiran seseorang, orang ahli bahasa menyebutknya isim zaman dan isim makan. Kalau dikaitkan dengan nabi, ya hari kelahiran nabi disebut dengan maulidun nabi. Bertepatan pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sebagaimana ahli sejarah mengatakan.

Sedangkan maulud, merupakan seseorang atau anak yang dilahirkan. Menurut para santri, ditilik dari bentuk kalimat Arabnya, ia merupakan isim ma’ful (objek dari sebuah peristiwa/pekerjaan). Kalau dihubungkan dengan nabi, yang dimaksud dengan maulud, ya kanjeng Nabi itu sendiri, sebagai pula seorang utusan yang membawa risalah Islam kepada seluruh alam, dengan misi utama: rahmatan lil’alamien.

Maulid merujuk pada hari kelahiran nabi, sedangkan maulud adalah nabi itu sendiri. Dari sini, istilah molod di Madura, lebih dekat kepada kata maulud dalam bahasa Arab, bukan maulid. Banyak orang yang kurang membedakan secara arif antara hari kelahiran dan nabi yang dilahirkan. Perayaan hari kelahiran dalam kasus-kasus tertentu memiliki titik tekan yang tidak sejalan dengan perayaan atas nabi yang dilahirkan. Para sepuh pernah berujar bahwa molod adalah upaya mengagungkan nabi, bukan sekedar perayaan hari kelahiran nabi. Makanya, dahulu kala di Madura, molodan bukan hanya tradisi di bulan maulid saja, terdapat pula pada bulan-bulan yang lain: sekali lagi, yang penting nabinya bukan mementum hari kelahirannya.(baca lebih lanjut: Tradisi Maulid dan Kesadaran Melanjutkan Misi Profetik Nabi)

Hati-hati dengan Mulut
Abu Sulaiman ad-Daroni menuturkan sebuah hadits yang sebagian isinya menjelaskan bahwa kenyang adalah kunci dunia dan lapar adalah kunci akhirat. Kenyang dan lapar adalah dua peristiwa kemanusiaan yang wajar, dengan perut sebagai lokusnya dan mulut sebagai pintunya. Berawal dari mulut, perut bisa kenyang atau lapar. Peristiwa kewajaran ini akan menjadi lain dan membahayakan ketika kenyang dan lapar tidak hanya berurusan dengan sesuap nasi, tetapi segudang ambisi.

Kenyang dan lapar adalah sebuah simbol yang bisa diterjemahkan secara beragam ke dalam kehidupan dan kebudayaan. Ada orang yang lebih suka memburu kekenyangan, adapula yang senang dengan kelaparan. Ada orang yang sudah kenyang, dengan kerakusan dan keangkuhannya, dia terlihat lebih lapar dari orang-orang yang lapar. Adapula orang yang lapar, dengan qana’ah dan syukurnya, dia tampak lebih kenyang dri orang-orang yang sudah kekenyangan.

Banyak orang yang tak kenyang-kenyang dengan kekuasaan, sampai akhirnya terus berebutan jabatan. Tanpa malu-malu, baru keluar dari penjara, langsung ingin naik kursi lagi. Banyak orang yang terus merasa lapar dengan uang, sampai melakukan cara apapun untuk terus menimbun kekayaan, walau sebenarnya sudah melibihi batas kekenyangan. Diperlukan proteksi yang jujur dan berani, apakah diri ini termasuk orang yang lapar atau kenyang, agar mulut tidak hanya bekerja untuk memanjakan perut.

Berhati-hatilah dengan mulut: mulut bisa menelan apa saja. Terlebih ketika mendapat dorongan energi dari ambisi untuk selalu ingin kenyang. Jagalah mulut agama kita dari mengharap selain ridlaNya, mulut sosial dari kedengkian terhadap sesama. Mulut politik dari syahwat kekuasaan dan mulut ekonomi dari kerakusan. Dan mulut-mulut yang lain dari berbagai sergapan tipuan dunia yang menjadi pangkal segala kesalahan.

Bermolod tanpa Mulut
Buah-buahan itu semakin berkah kalau dijadikan rebutan, pitutur seorang kiai di tengah-tengah acara maulid di Madura. Sudah lazim, buah-buahan, palotan (sejenis beras), makanan bahkan taburan yang recehan menjadi icon perayaan maulid nabi di Madura. Semua itu adalah piranti dunia, yang akan bisa menimbulkan efek duniawi belaka bila tidak disetting sedemikian rupa, terutama yang menyangkut niat dan segala hal yang muncul dari hati dan pikiran.

Perayaan maulid yang melibatkan banyak piranti dunia akan lebih mudah menjebak seseorang pada dimensi kepuasan mulut yang berakhir di perut, bukan hakikat molod. Sesuai keyakinan ahlussunnah wal jama’ah, kanjeng Nabi akan selalu hadir dalam setiap pembacaan shalawat. Kehadiran kanjeng Nabi seharusnya lebih disambut dengan perhatian yang fokus dan hati yang khusyu’. Setidaknya, ada semacam keyakinan dan upaya untuk merasakan kehadiran kanjeng Nabi, kalau masih dirasa sulit: kita harus tahu bahwa kanjeng Nabi sedang bersama kita disaat shalawatan.

Terus, bagaimana mungkin muncul perilaku-perilaku yang melanggar nilai-nilai kemesraan dan keagaungan, dengan lebih memberatkan perhatian pada buah-buahan yang dihidangkan? Bagaimana bisa kita rebutan buah-buahan di saat kita justru sedang meyakini atau paling tidak mengetahui kehadiran kanjeng Nabi? Apakah perayaan maulid nabi juga diam-diam jadi pelampiasan ambisi akan rasa kenyang terhadap dunia?

Harus selalu diingat bahwa molod dan mulut adalah dua hal yang hampir selalu bertabrakan. Keduanya bisa sejalan hanya dengan memahami esensi masing-masing dan menata serapi mungkin niat di hati dan sudut pandang di pikiran. Makan dan minum adalah perintah agama, tapi ya jangan sampai keterlaluan dan kebablasan. Tradisi molodan di Madura tidak disetting untuk sekedar makan dan minum saja, namun lebih pada upaya membuka hati lebih lebar untuk kehadiran kanjeng Nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Buah-buahan boleh disajikan, makanan dihidangkan, dan uang ditaburkan: semua itu hanya demi tata rias dekorasi tapi panggung utamanya adalah shalawatan. Di panggung itulah kita mengundang kanjeng Nabi untuk datang dan berbagi rahmat Tuhan di tengah kehidupan yang semakin ringkih oleh nafsu kebendaan. Bila riasan dekorasi justru lebih menarik perhatian, dibandingkan kehadiran sang nabi junjungan, sungguh sebuah penghinaan yang tak terbayangkan.

Sesekali, mulut perlu dipenjarakan dan perut diterlantarkan, agar hati dan pikiran benar-benar ikut merasakan molodan. Tak pernahkan hati penasaran, jika suatu nanti, akan pula mampu merasakan kehadiran makhluk terindah Tuhan di saat sedang shalawatan? Keindahan kanjeng Nabi hanya mampu dirasakan oleh hati yang diliputi keindahan. Kerakusan terhadap dunia akan mematikan segala keindahan yang sudah atau akan muncul dalam hati seseorang.

Peara, 31 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar