sumber: matamaduranews.com |
Ajang Adu Tembang
Iring-iringan pangantan lake’ dengan
seluruh komponennya, akan berhenti tepat di depan labang saketeng (pintu
gapura) tuan rumah, yang sudah dilengkapi dengan kelompok patampa dan pangereng
dari pangantan bini’ sebagai penyambut. Kedua kelompok dengan
masing-masing perangkatnya yang ada, akan menunggu proses serah terima yang akan diwakili oleh para pangereng dari
pangantan lake’ dan pangantan bini’.
Dituturkan oleh Ki Haji Masyhuri, sesepuh di desa
Candi yang menjadi ketua pangereng beberapa tahun silam, bahwa “serah
terima pangantan yang dilakukan oleh ketua pangereng dari pangantan
lake’ dan pangantan bini’, harus menggunakan bahasa Madura tingkat
tinggi, dengan sesekali diselingi paparegan”. Serah terima diawali
dengan salam pembuka dan kata pengantar sebelum masuk pada pembicaraan inti,
yang kemudian ditutup dengan beberapa paparegan, sebelum mengucapkan
salam pamungkas.
Diperlukan keahlian khusus untuk menjadi ketua pangereng
yang bertanggung jawab sebagai pelaku serah terima pangantan, yang tidak
hanya harus menguasi bahasa Madura tingkat tinggi, tetapi juga kemampuan
mengolah kata menjadi narasi yang indah didengar. Intonasi yang digunakan harus
ditata sedemikian rupa, agar tidak monoton, dengan dibarengi kelihaian dalam
berimprovisasi. Tentu ini sangat berbeda dengan tradisi serah terima pangantan
yang berlangsung dua dekade terakhir, yang sudah mulai formal, kaku dan keluar
dari kearifan lokal, dengan menggunakan jasa kiai atau kiaji.
Usai serah terima, semua rombongan pangantan
lake’ dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan. Di
sinilah, para pangereng kembali melaksanakan tugasnya sebagai pelantun
tembang, secara bergantian dari kelompok pangereng pangantan lake’
sebagai tamu, dan pangereng pangantan bini’ sebagai tuan rumah. Ki Haji
Masyhuri, sesepuh yang masih setia mengelola kompolan mamaca di desa
Candi dan sekitarnya, mengisahkan bahwa
“tembang yang dibaca adalah tembang kasmaran sebagai pembuka yang berisi ajaran
cinta kepada Allah, kemudian dilanjutkan dengan kisah sepasang suami istri,
Maljuna dan Andawiyah, yang dilantunkan dengan tembang senom.” Saya kutip salah satu tembang senom, yang
berupa ucapan Maljuna kepada istrinya, Andawiyah, sebagai berikut:
Lamon binjang / yen palastro / ayak kirim kembang
sulastri / kirimelah jeroning kembang / a kembang jeroning sari / batanlanna
bantal se puti / kasuranna kasur sari / kuburanna ing tanah suci / roropanna
sutra ungu / tangisanna tembang senom paricoto…
Terjemahan (baca: tegghesan) bebasnya
seperti ini:
Bila nanti, tiba waktunya mati, jangan kau kirimi
aku kembang melati, kirimilah kembang yang kau selipkan di gelungmu
sehari-hari. Berikan jasadku bantal yang putih dan kasur yang harum,
kuburkanlah pada tanah yang suci, dan bungkuslah dengan sutra yang ungu, serta
tangisilah dengan tembang senom paricoto…..
Sementara di sisi lain, terdapat model yang agak
berbeda dengan tradisi pangantan Madura di desa Candi dan sekitarnya, di bagian
selatan, dengan tradisi pangantan di desa Lapa Taman dan sekitarnya, di bagian
utara, meskipun sama-sama wilayah bagian timur pulau Madura. Hal ini didasarkan
pada keterangkan yang disampaikan oleh Ki Munabi, sebagai ketua pangereng
dari desa Lapa Taman, bahwa “para pangereng pangantan lake’ harus mampu
melewati lima buah pintu yang sudah disedikan oleh tuan rumah, yang
masing-masing pintu harus dibuka dengan tembang artate, sebagai syarat awal
serah terima”.
Adu tembang antar pangereng, tidak
dilaksanakan setelah serah terima selesai, seperti di desa Candi dan
sekitarnya, tapi sebelum serah diterima dilakukan dengan syarat, harus bisa
membuka lima pintu yang masing-masing pintu berisi pertanyaan dan tantangan
yang berbeda. Untuk membuka pintu pertama, pangereng pangantan lake’
harus bisa menjawab pertanyaan dari pangereng pangantan bini’, yang
disampaikan dengan tembang artate, dan harus dijawab dengan tembang yang sama.
Begitu seterusnya sampai semua pintu bisa dibuka dan rombongan dari pangantan
lake’ baru bisa diterima.
Sekedar sebagai contoh, saya tuliskan sepenggal
percakapan antara pangereng pangantan lake’ dan pangantan bini’ ,
saat akan memasuki pintu pertama. Ketua pangereng pangantan bini’, yang
berada di balik lima pintu, berujar dengan tembang artate:
Ingsung tampa sabdaning nerpati / lamon ono / wong
anjulak lawang / siro takona dinjati / yen werru asalipon / ing undake lawang
neng riki / mapan lawang tonda sanga’ / sakawanan aneng jerru / lalema’ kang
aneng jaba / warna-warni / iku ngulatana dimin / yen werru kengeng manjenga /
lawang jawi lalema’ puniki / ono abang / apa ara niro / yen kuning apa arane /
peng tigo ireng iku / ing kang ijo apa artine / yen puti apa artinyo / punika
tinotor / lawang lalema’ punika / iku wunten / ing jawi ing riki / iku siro
ngulatena #
(Kaula narema pakonna toan rumah / lamun bada /
oreng mundut labang / sampean tanya’aki sanyatana / mon oneng ka asal molana /
dha’ ondegga labang ka’dinto / asabab labang paneka aondeg sanga’ / pa’-empa’
bada e dalam / lalema’ bada e loar / amacem-macem / sampean ngolatena kellu / mon
oneng ka ropana bisa maso’ / labang loar se lalema’ genika / bada merah /
ponapa nyamana / mon koneng anyama ponapa / se nomer tello’ ropana celleng /
mon biru anyama ponapa / mon pote ponapa artena / tore kabala / ropana labang
se lelema’ genika / paneka lakar bada / e loarra karaton ka’dinto / sampean
ngulatena dimin)
Kemudian dengan tidak kalah lantang dan berani,
ketua pangereng pangantan lake’ menjawab penuh wibawa dengan tembang serupa:
Sapunika lawang lema’ nenggi / ropanipun / kaya
wong pandawa / karihin Prabu Amerti / Peng kali Seno puniko / peng tiga Arjuna nenggi / peng empat aran
Nakula / peng lema’ puniko / Sadewa iku arannya / iya iku / ropane lawang
puneki / ingsur arsa malebbuwe #
(cara paneka ropana labang se lelema’ / enggi
ropana / kadiya oreng pandaba / da’-ada’ Rato Amerta (Yudhistira) / se nomer
duwa’ ropana Seno (Bima) / senomer tello’ ropana Arjuna / se nomer empa’ kadiya
ropana Nakula / jugan se kapeng lema’ / kadiya ropana Sadewa / enggi cara
genika / ropana labang e ka’dinto / daddi samangken kaula maso’a)
Itulah tembang-tembang, dengan segala ajaran yang
tersirat di dalamnya, yang menjadi bagian vital dari tradisi pangantan
Madura. Tentu tembang-tembang tersebut menyimpan rahasia: kenapa harus
kasmaran, senom dan artate? Apa dibalik kisah sepasang suami istri Maljuna dan
Andawiyah? Apa pula makna perlambang dan kandungan folosofis lima pintu? Paling
terkahir: apa hakikat pangantan Madura?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar