Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Minggu, 01 Januari 2017

Pangantan Madura: Kilas Balik Tradisi dan Makna Falsafi (2)

sumber: matamaduranews.com
Ajang Adu Tembang
Iring-iringan pangantan lake’ dengan seluruh komponennya, akan berhenti tepat di depan labang saketeng (pintu gapura) tuan rumah, yang sudah dilengkapi dengan kelompok patampa dan pangereng dari pangantan bini’ sebagai penyambut. Kedua kelompok dengan masing-masing perangkatnya yang ada, akan menunggu proses serah terima yang  akan diwakili oleh para pangereng dari pangantan lake’ dan pangantan bini’.
Dituturkan oleh Ki Haji Masyhuri, sesepuh di desa Candi yang menjadi ketua pangereng beberapa tahun silam, bahwa “serah terima pangantan yang dilakukan oleh ketua pangereng dari pangantan lake’ dan pangantan bini’, harus menggunakan bahasa Madura tingkat tinggi, dengan sesekali diselingi paparegan”. Serah terima diawali dengan salam pembuka dan kata pengantar sebelum masuk pada pembicaraan inti, yang kemudian ditutup dengan beberapa paparegan, sebelum mengucapkan salam pamungkas.

Diperlukan keahlian khusus untuk menjadi ketua pangereng yang bertanggung jawab sebagai pelaku serah terima pangantan, yang tidak hanya harus menguasi bahasa Madura tingkat tinggi, tetapi juga kemampuan mengolah kata menjadi narasi yang indah didengar. Intonasi yang digunakan harus ditata sedemikian rupa, agar tidak monoton, dengan dibarengi kelihaian dalam berimprovisasi. Tentu ini sangat berbeda dengan tradisi serah terima pangantan yang berlangsung dua dekade terakhir, yang sudah mulai formal, kaku dan keluar dari kearifan lokal, dengan menggunakan jasa kiai atau kiaji.

Usai serah terima, semua rombongan pangantan lake’ dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan. Di sinilah, para pangereng kembali melaksanakan tugasnya sebagai pelantun tembang, secara bergantian dari kelompok pangereng pangantan lake’ sebagai tamu, dan pangereng pangantan bini’ sebagai tuan rumah. Ki Haji Masyhuri, sesepuh yang masih setia mengelola kompolan mamaca di desa Candi dan sekitarnya,  mengisahkan bahwa “tembang yang dibaca adalah tembang kasmaran sebagai pembuka yang berisi ajaran cinta kepada Allah, kemudian dilanjutkan dengan kisah sepasang suami istri, Maljuna dan Andawiyah, yang dilantunkan dengan tembang senom.”  Saya kutip salah satu tembang senom, yang berupa ucapan Maljuna kepada istrinya, Andawiyah, sebagai berikut:

Lamon binjang / yen palastro / ayak kirim kembang sulastri / kirimelah jeroning kembang / a kembang jeroning sari / batanlanna bantal se puti / kasuranna kasur sari / kuburanna ing tanah suci / roropanna sutra ungu / tangisanna tembang senom paricoto…

Terjemahan (baca: tegghesan) bebasnya seperti ini:

Bila nanti, tiba waktunya mati, jangan kau kirimi aku kembang melati, kirimilah kembang yang kau selipkan di gelungmu sehari-hari. Berikan jasadku bantal yang putih dan kasur yang harum, kuburkanlah pada tanah yang suci, dan bungkuslah dengan sutra yang ungu, serta tangisilah dengan tembang senom paricoto…..

Sementara di sisi lain, terdapat model yang agak berbeda dengan tradisi pangantan Madura di desa Candi dan sekitarnya, di bagian selatan, dengan tradisi pangantan di desa Lapa Taman dan sekitarnya, di bagian utara, meskipun sama-sama wilayah bagian timur pulau Madura. Hal ini didasarkan pada keterangkan yang disampaikan oleh Ki Munabi, sebagai ketua pangereng dari desa Lapa Taman, bahwa “para pangereng pangantan lake’ harus mampu melewati lima buah pintu yang sudah disedikan oleh tuan rumah, yang masing-masing pintu harus dibuka dengan tembang artate, sebagai syarat awal serah terima”.

Adu tembang antar pangereng, tidak dilaksanakan setelah serah terima selesai, seperti di desa Candi dan sekitarnya, tapi sebelum serah diterima dilakukan dengan syarat, harus bisa membuka lima pintu yang masing-masing pintu berisi pertanyaan dan tantangan yang berbeda. Untuk membuka pintu pertama, pangereng pangantan lake’ harus bisa menjawab pertanyaan dari pangereng pangantan bini’, yang disampaikan dengan tembang artate, dan harus dijawab dengan tembang yang sama. Begitu seterusnya sampai semua pintu bisa dibuka dan rombongan dari pangantan lake’ baru bisa diterima.

Sekedar sebagai contoh, saya tuliskan sepenggal percakapan antara pangereng pangantan lake’ dan pangantan bini’ , saat akan memasuki pintu pertama. Ketua pangereng pangantan bini’, yang berada di balik lima pintu, berujar dengan tembang artate:

Ingsung tampa sabdaning nerpati / lamon ono / wong anjulak lawang / siro takona dinjati / yen werru asalipon / ing undake lawang neng riki / mapan lawang tonda sanga’ / sakawanan aneng jerru / lalema’ kang aneng jaba / warna-warni / iku ngulatana dimin / yen werru kengeng manjenga / lawang jawi lalema’ puniki / ono abang / apa ara niro / yen kuning apa arane / peng tigo ireng iku / ing kang ijo apa artine / yen puti apa artinyo / punika tinotor / lawang lalema’ punika / iku wunten / ing jawi ing riki / iku siro ngulatena #

(Kaula narema pakonna toan rumah / lamun bada / oreng mundut labang / sampean tanya’aki sanyatana / mon oneng ka asal molana / dha’ ondegga labang ka’dinto / asabab labang paneka aondeg sanga’ / pa’-empa’ bada e dalam / lalema’ bada e loar / amacem-macem / sampean ngolatena kellu / mon oneng ka ropana bisa maso’ / labang loar se lalema’ genika / bada merah / ponapa nyamana / mon koneng anyama ponapa / se nomer tello’ ropana celleng / mon biru anyama ponapa / mon pote ponapa artena / tore kabala / ropana labang se lelema’ genika / paneka lakar bada / e loarra karaton ka’dinto / sampean ngulatena dimin)

Kemudian dengan tidak kalah lantang dan berani, ketua pangereng pangantan lake’ menjawab penuh wibawa dengan tembang serupa:

Sapunika lawang lema’ nenggi / ropanipun / kaya wong pandawa / karihin Prabu Amerti / Peng kali Seno puniko /  peng tiga Arjuna nenggi / peng empat aran Nakula / peng lema’ puniko / Sadewa iku arannya / iya iku / ropane lawang puneki / ingsur arsa malebbuwe #

(cara paneka ropana labang se lelema’ / enggi ropana / kadiya oreng pandaba / da’-ada’ Rato Amerta (Yudhistira) / se nomer duwa’ ropana Seno (Bima) / senomer tello’ ropana Arjuna / se nomer empa’ kadiya ropana Nakula / jugan se kapeng lema’ / kadiya ropana Sadewa / enggi cara genika / ropana labang e ka’dinto / daddi samangken kaula maso’a)


Itulah tembang-tembang, dengan segala ajaran yang tersirat di dalamnya, yang menjadi bagian vital dari tradisi pangantan Madura. Tentu tembang-tembang tersebut menyimpan rahasia: kenapa harus kasmaran, senom dan artate? Apa dibalik kisah sepasang suami istri Maljuna dan Andawiyah? Apa pula makna perlambang dan kandungan folosofis lima pintu? Paling terkahir: apa hakikat pangantan Madura?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar