Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Minggu, 11 Desember 2016

Menatap Ulang Fenomena Carok di Madura

sumber: poskotanews.com
Salah satu budaya yang muncul dari dinamika sosial mayarakat Madura adalah carok. Sebagaimana diketahui, budaya ini merupakan bentuk budaya paling ekstrim yang dimiliki masyarakat madura.  Bahkan, oleh sebagian kalangan carok dinilai sebagai bentuk penyimpangan budaya yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, juga berseberangan dengan nilai normatif agama (Islam).

Persoalan ini, memberikan daya tarik tersendiri untuk dikaji lebih lanjut agar dapat menarik pemahaman yang utuh, dan lengkap menganai budaya carok. Sehingga pemaknaan carok yang rendah selama ini dapat sedikit dicerahkan.

Bagaimanapun juga, carok telah mejadi bagian intrinsik dari kehidupan sosial masyarakat Madura yang sudah bertahun-tahun tumbuh, dan tidak mungkin dapat dipangkas begitu saja. Sehingga persoalan ini perlu dianilisis dan dipahami sesuai dengan bingkai sejarah kemunculannya.

Selama ini, kita cenderung melihat budaya carok secara sepotong-potong, tidak utuh dan menyeluruh. Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba menguraikan dinamika carok sebagai budaya asli masyarakat Madura dari berbagai sudut pandang, sehingga benar-benar ditemukan pemahaman yang komprehensif, bukan sekedar tahu informasi seputar carok seperti yang telah terjadi sepanjang tahun ini. Dan saya akan memulainya dengan menyajikan sebagian peristiwa yang melatarbelakangi munculnya carok di Madura.      

Carok dan Martabat Kaum Perempuan

dalam kumandang saronen pesta kerapan
kujumpa seorang dara
dengan agak-agak pada hatinya
lalu diraihnya bulan yang biru
pada mata penyair

aku ingat di sini Madura
lalu terbayang kesekian kilat celurit
sehingga kedua hati
saling bernyanyi sendiri-sendiri

Ini adalah sebuah puisi yang ditulis oleh D Zawawi Imron, dengan judul “Gadis Kampung Jambangan”. Puisi yang merekam peristiwa dua muda-mudi yang saling jatuh hati saat pesta sapi kerapan berlangsung. Keduanya hanya saling lirik dan melempar senyum, ada semacam keraguan untuk melanjutkan kisah asmara mereka ketika tiba-tiba teringat tentang tanah Madura: terbayang kesekian kilat celurit. Dalam puisi yang lain, Sampai ke Dalam Padang Impian, beliau kembali enuliskan sebauh bait:

“jangan lirik ia
dengan cara yang sembarangan!
kalau kerapan ini tak ingin gagal
kalau tak ingin berselempang celurit
lantaran padanya
mangli adat sudah kukalngukan
…………..”

Puisi tersebut merekam munculnya budaya carok yang merupakan salah satu bentuk pembelaan terhadap kaum perempuan. Masyarakat madura menepatkan perempuan pada posisi yang tinggi, yang bersentuhan langsung dengan harga diri seorang lelaki (suami), sehingga tindak pelecehan terhadap perempuan akan dipandang sebagai penyakit sosial yang harus diperangi.

Berangkat dari asumsi ini, betapa budaya carok memiliki landasan filosofis yang begitu mulia dan bukan sekedar adu nafsu belaka. Walaupun tak dapat dipingkiri, pada perkembangan selanjutnya, budaya carok sering mengalami pergeseran nilai yang sangat bertentangan dengan nilai esensi dari carok itu sendiri.

Dalam kasus-lasus tertentu, carok dapat menjelma menjadi sebuah trend hidup yang sering dilakukan oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab untuk memuaskan diri dalam limpahan ekonomi dan politik. Sehingga persoalan ini berimplikasi pada satu pemahaman bahwa orang Madura adalah etnis berdarah keras yang suka menyebarkan kekerasan. Inilah klaim yang sering disandarkan pada orang-orang Madura dengan melihat latar belakang budaya caroknya. Maka dari itu, kita perlu menempatkan carok dalam bingkai pemahaman yang benar, dengan menganalisis dari berbagai sitem pranata sosial, dan tentu juga, dengan berpijak dari akar sejarah munculnya carok itu sendiri.

Carok dalam Pandangan Agama
Agama dengan tegas melarang praktik pembunuhan terhadap jiwa manusia tanpa melalui jalan yang hak, karena itu termasuk dosa besar yang sangat terkutuk. Akan tetapi, di sisi lain, agama juga mewajibkan bagi setiap orang untuk memelihara diri dan kelurganya dari berbagai bentuk malapetaka, kejahatan, kedzaliman dan yang lebih penting menjaganya dari api neraka.

Dari sini, perintah memelihara diri dan keluarga dalam agama oleh orang Madura ditafsirkan, salah satunya, melalui carok. Sehingga mereka akan menggunakan jalan ini dalam saat-saat tertentu sebagai upaya penyelamatan harga diri keluarga (khususnya kaum perempuan).Terutama di saat hukum Negara menjadi jalan buntu dalam menyelesaikan masalah.

Carok dalam Perspektif HAM
Salah satu hak asasi manusia adalah hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sementara dalam budaya carok, kehidupan seseorang justru jadi taruhannya. Sehingga ini akan bertantangan sekali dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Meskipun carok sebenarnya tidak harus membunuh, bisa saja hanya sekedar melukai atau melumpuhkan. Maka orang-orang tua selalu berwasiat kepada para muda: jangan salah niat, carok jangan diniati untuk membunuh!

Dalam kasus ini, kita harus memahami persolan ini dengan tuntas. Sebagaimana yang telah dipaparkan di depan, bahwa carok muncul ketika kehormatan perempuan diusik atau dilecehkan. Maka sebagai pihak keluarga, entah ayah atau suami atau saudara, akan membuat perhitungan dengan orang dzalim tersebut melalui carok, yang dampak paling buruknya adalah kematian salah satu pihak.

Bila dengan alasan ini dijadikan dalil bahwa carok sangat tidak manusiawi, lantas orang yang berlaku senonoh terhadap seorang perempuan bisa dimasukkan dalam kategori tindakan humanis? Ini yang perlu kita pikirkan dan pahami bersama. Sebab selama ini, kita sering memahami HAM dan perspektif Negara-negara liberal Barat, bukan dalam kerangka budaya sendiri. Hak seorang manusia jangan sampai menciderai hak orang lain. Kalau tidak, sesama hak akan saling tumpang tindih dan menimbulkan pertengkaran yang tak berkesudahan.

Carok dalam Kacamata Sosial Budaya
Setiap kebudayaan masyarakat akan menjadi kontruksi sosial yang akan mengontrol aktivitas individual dalam interaksi sosial. Termasuk di sini adalah budaya carok, maka akan menjadi semacam sistem nilai sosial yang akan mengarahkan setiap individu yang memasyarakat pada tindakan yang lebih adil. Sebab dengan adanya budaya carok ini, masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan pelecehan terhadap kaum hawa ataupun semacam perselingkuhan, karena hal tersebut bertentangan dengan misi utama budaya carok yang memperjuangkan harga diri kaum perempuan.

Dalam perspektif ini, budaya carok akan memberikan sumbangsih ideal bagi terciptanya masyarakat Madura yang adil, setidaknya pada kaum perempuan. Walaupun dalam satu sisi, kita juga dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik: pembunuhan. Tapi, setiap budaya muncul dari kenyataan sosial yang berjalan bertahun-tahun, bukan sekedar pola hidup yang gamang dan tidak memiliki makna yang esensial.

Epilog
Berangkat dari sekilas analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya carok, sebagaimana kata D. Zawawi Imron, merupakan budaya suci yang mengandung nilai-nilai luhur. Walaupun kita juga harus jujur, bahwa budaya ini mengakibatkan dampak yang sangat besar dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, kita juga harus menyadari bahwa budaya carok memberi sumbangsih ideal terhadap terbentuknya ketertiban sosial, apalagi di saat ini hukum Negara dapat dibeli dengan uang.

Terlepas dari segala pro dan kontra, budaya carok telah muncul sebagai bentuk kontrol sosial yang ada dalam masyarakat madura. Dan sampai kini, masih terus dilestarikan sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang. Seandainya ada budaya tandingan yang lebih baik, tentu itu menjadi harapan bersama. Semoga kita semua dapat mencintai Madura dengan segala dinamikannya.


Muara, April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar