sumber: poskotanews.com |
Salah satu
budaya yang muncul dari dinamika sosial mayarakat Madura adalah carok.
Sebagaimana diketahui, budaya ini merupakan bentuk budaya paling ekstrim yang
dimiliki masyarakat madura. Bahkan, oleh
sebagian kalangan carok dinilai sebagai bentuk penyimpangan budaya yang
sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, juga berseberangan dengan
nilai normatif agama (Islam).
Persoalan ini,
memberikan daya tarik tersendiri untuk dikaji lebih lanjut agar dapat menarik
pemahaman yang utuh, dan lengkap menganai budaya carok. Sehingga
pemaknaan carok yang rendah selama ini dapat sedikit dicerahkan.
Bagaimanapun
juga, carok telah mejadi bagian intrinsik dari kehidupan sosial
masyarakat Madura yang sudah bertahun-tahun tumbuh, dan tidak mungkin dapat
dipangkas begitu saja. Sehingga persoalan ini perlu dianilisis dan dipahami
sesuai dengan bingkai sejarah kemunculannya.
Selama ini,
kita cenderung melihat budaya carok secara sepotong-potong, tidak utuh
dan menyeluruh. Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba menguraikan dinamika carok
sebagai budaya asli masyarakat Madura dari berbagai sudut pandang, sehingga
benar-benar ditemukan pemahaman yang komprehensif, bukan sekedar tahu informasi
seputar carok seperti yang telah terjadi sepanjang tahun ini. Dan saya
akan memulainya dengan menyajikan sebagian peristiwa yang melatarbelakangi
munculnya carok di Madura.
Carok dan
Martabat Kaum Perempuan
dalam
kumandang saronen pesta kerapan
kujumpa
seorang dara
dengan
agak-agak pada hatinya
lalu diraihnya
bulan yang biru
pada mata
penyair
aku ingat di
sini Madura
lalu terbayang
kesekian kilat celurit
sehingga kedua
hati
saling
bernyanyi sendiri-sendiri
Ini adalah
sebuah puisi yang ditulis oleh D Zawawi Imron, dengan judul “Gadis Kampung
Jambangan”. Puisi yang merekam peristiwa dua muda-mudi yang saling jatuh hati
saat pesta sapi kerapan berlangsung. Keduanya hanya saling lirik dan melempar
senyum, ada semacam keraguan untuk melanjutkan kisah asmara mereka ketika
tiba-tiba teringat tentang tanah Madura: terbayang kesekian kilat celurit.
Dalam puisi yang lain, Sampai ke Dalam Padang Impian, beliau kembali enuliskan
sebauh bait:
“jangan lirik
ia
dengan cara
yang sembarangan!
kalau kerapan
ini tak ingin gagal
kalau tak
ingin berselempang celurit
lantaran
padanya
mangli adat
sudah kukalngukan
…………..”
Puisi tersebut
merekam munculnya budaya carok yang merupakan salah satu bentuk
pembelaan terhadap kaum perempuan. Masyarakat madura menepatkan perempuan pada
posisi yang tinggi, yang bersentuhan langsung dengan harga diri seorang lelaki
(suami), sehingga tindak pelecehan terhadap perempuan akan dipandang sebagai
penyakit sosial yang harus diperangi.
Berangkat dari
asumsi ini, betapa budaya carok memiliki landasan filosofis yang begitu mulia
dan bukan sekedar adu nafsu belaka. Walaupun tak dapat dipingkiri, pada
perkembangan selanjutnya, budaya carok sering mengalami pergeseran nilai
yang sangat bertentangan dengan nilai esensi dari carok itu sendiri.
Dalam
kasus-lasus tertentu, carok dapat menjelma menjadi sebuah trend hidup
yang sering dilakukan oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab untuk
memuaskan diri dalam limpahan ekonomi dan politik. Sehingga persoalan ini
berimplikasi pada satu pemahaman bahwa orang Madura adalah etnis berdarah keras
yang suka menyebarkan kekerasan. Inilah klaim yang sering disandarkan pada
orang-orang Madura dengan melihat latar belakang budaya caroknya. Maka
dari itu, kita perlu menempatkan carok dalam bingkai pemahaman yang
benar, dengan menganalisis dari berbagai sitem pranata sosial, dan tentu juga,
dengan berpijak dari akar sejarah munculnya carok itu sendiri.
Carok dalam
Pandangan Agama
Agama dengan
tegas melarang praktik pembunuhan terhadap jiwa manusia tanpa melalui jalan
yang hak, karena itu termasuk dosa besar yang sangat terkutuk. Akan tetapi, di
sisi lain, agama juga mewajibkan bagi setiap orang untuk memelihara diri dan
kelurganya dari berbagai bentuk malapetaka, kejahatan, kedzaliman dan yang
lebih penting menjaganya dari api neraka.
Dari sini,
perintah memelihara diri dan keluarga dalam agama oleh orang Madura
ditafsirkan, salah satunya, melalui carok. Sehingga mereka akan
menggunakan jalan ini dalam saat-saat tertentu sebagai upaya penyelamatan harga
diri keluarga (khususnya kaum perempuan).Terutama di saat hukum Negara menjadi
jalan buntu dalam menyelesaikan masalah.
Carok dalam
Perspektif HAM
Salah satu hak
asasi manusia adalah hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sementara
dalam budaya carok, kehidupan seseorang justru jadi taruhannya. Sehingga
ini akan bertantangan sekali dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Meskipun carok
sebenarnya tidak harus membunuh, bisa saja hanya sekedar melukai atau
melumpuhkan. Maka orang-orang tua selalu berwasiat kepada para muda: jangan
salah niat, carok jangan diniati untuk membunuh!
Dalam kasus
ini, kita harus memahami persolan ini dengan tuntas. Sebagaimana yang telah
dipaparkan di depan, bahwa carok muncul ketika kehormatan perempuan diusik atau
dilecehkan. Maka sebagai pihak keluarga, entah ayah atau suami atau saudara,
akan membuat perhitungan dengan orang dzalim tersebut melalui carok,
yang dampak paling buruknya adalah kematian salah satu pihak.
Bila dengan
alasan ini dijadikan dalil bahwa carok sangat tidak manusiawi, lantas orang
yang berlaku senonoh terhadap seorang perempuan bisa dimasukkan dalam kategori
tindakan humanis? Ini yang perlu kita pikirkan dan pahami bersama. Sebab selama
ini, kita sering memahami HAM dan perspektif Negara-negara liberal Barat, bukan
dalam kerangka budaya sendiri. Hak seorang manusia jangan sampai menciderai hak
orang lain. Kalau tidak, sesama hak akan saling tumpang tindih dan menimbulkan
pertengkaran yang tak berkesudahan.
Carok dalam
Kacamata Sosial Budaya
Setiap
kebudayaan masyarakat akan menjadi kontruksi sosial yang akan mengontrol
aktivitas individual dalam interaksi sosial. Termasuk di sini adalah budaya carok,
maka akan menjadi semacam sistem nilai sosial yang akan mengarahkan setiap
individu yang memasyarakat pada tindakan yang lebih adil. Sebab dengan adanya
budaya carok ini, masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan
tindakan pelecehan terhadap kaum hawa ataupun semacam perselingkuhan, karena
hal tersebut bertentangan dengan misi utama budaya carok yang
memperjuangkan harga diri kaum perempuan.
Dalam
perspektif ini, budaya carok akan memberikan sumbangsih ideal bagi
terciptanya masyarakat Madura yang adil, setidaknya pada kaum perempuan.
Walaupun dalam satu sisi, kita juga dihadapkan pada persoalan yang sangat
pelik: pembunuhan. Tapi, setiap budaya muncul dari kenyataan sosial yang
berjalan bertahun-tahun, bukan sekedar pola hidup yang gamang dan tidak
memiliki makna yang esensial.
Epilog
Berangkat dari
sekilas analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya carok,
sebagaimana kata D. Zawawi Imron, merupakan budaya suci yang mengandung
nilai-nilai luhur. Walaupun kita juga harus jujur, bahwa budaya ini
mengakibatkan dampak yang sangat besar dalam kehidupan sosial. Akan tetapi,
kita juga harus menyadari bahwa budaya carok memberi sumbangsih ideal
terhadap terbentuknya ketertiban sosial, apalagi di saat ini hukum Negara dapat
dibeli dengan uang.
Terlepas dari
segala pro dan kontra, budaya carok telah muncul sebagai bentuk kontrol
sosial yang ada dalam masyarakat madura. Dan sampai kini, masih terus
dilestarikan sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang. Seandainya ada budaya
tandingan yang lebih baik, tentu itu menjadi harapan bersama. Semoga kita semua
dapat mencintai Madura dengan segala dinamikannya.
Muara, April
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar