Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Minggu, 04 Desember 2016

KKN PAR dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

sumber: arsip peara
Mahasiswa diyakini oleh mayoritas kalangan sebagai kelas menengah yang mampu memainkan peran ganda: mengalir ke bawah bersama masyarakat kebanyakan dan menguap ke atas mempengaruhi pusat kendali hegemoni kekuasaan, baik penguasa maupun pengusaha. Peran ganda itulah yang menempatkan mahasiswa sebagai pioner terdepan dalam setiap perubahan dan pembaruan yang lebih maslahah dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak terkecuali masyarakat di derah pinggiran dan pedalaman yang sudah terbiasa dilupakan dalam proyek pembangunan.

Bertolak dari peran penting inilah, keberadaan mahasiswa di tengah-tengah masyarakat menjadi sebuah keniscayaan dan memang merupakan habitat yang harus digeluti, agar tidak sekedar menjadi hiasan menara gading. Mahasiswa harus punya ruang gerak yang jelas dan terencana untuk melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang berkeadilan dan berperadaban. Boleh saja kepentingan kuliah hanya mengejar target pasar dan pekerjaan, namun jangan sampai mengesampingkan tugas utama sebagai pendamping masyarakat, apalagi membangun persekongkolan dengan kelompok kapital.

Mahasiswa dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang, yang harus saling membentuk jalinan simbiosis mutualisme dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera, terutama di tingkat grass root, sebagai penguatan civil society yang menjadi basis tegaknya demokrasi: kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat hanya akan diperoleh melalui pemberdayaan yang berlangsung secara berkesinambungan, yang berangkat dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Semuanya harus berlangsung secara linear: jangan hanya dari, tetapi yang paling penting harus untuk rakyat.

Pemberdayaan adalah proses pemberian daya dan kemampuan bagi masyarakat untuk mengenali, menganalisis, merumuskan dan menentukan jalan keluar bagi masalah yang mereka hadapi secara mandiri. Dengan kata lain, masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu mengidentifikasi dan memenuhi segala kebutuhannya di masa kini dan mendatang, bukan masyarakat yang berebutan mengambil bantuan uang tunai yang diprogramkan pemerintah. Masyarakat yang punya etos kerja dan semangat untuk berubah, bukan masyakat yang suka ngantri di kantor pos sambil memegang Kartu Keluarga Harapan (PKH) dan sejenisnya.

Keberdayaan masyarakat adalah unsur yang paling memungkinkan masyarakat untuk mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk terus menerus meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat “bawah” yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, baik secara kultural maupun struktural. Mereka tidak membutuhkan sebungkus nasi yang hanya bisa dimakan sehari, tetapi mereka butuh cangkul dan lahan untuk bertani dan sistem pasar yang memihak. Karena pada hakikatnya, meraka tidak lemah, tetapi dilemahkan oleh sistem yang tidak adil dan diskriminatif, yang tidak akan berubah hanya dengan raskin dan bantuan serupa lainnya.

Bantuan berupa beras (atau lebih dikenal raskin) dan uang tunai bukanlah program pemberdayaan dan sama sekali tidak menyentuh akar masalah kemiskinan yang terus menjadi persoalan akut  di negeri ini. Bantuan semacam itu hanyalah cara mengatasi masalah yang instan, tidak objektif dan manipulatif, apalagi ketika didukung oleh sistem yang rusak, yang menjadi lahan tumbuh kembangnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), bukan KKN (kuliah kerja nyata). Padahal yang dibutuhkan masyarakat adalah KKN (kuliah kerja nyata) yang sebenarnya, dengan menjadikan mahasiswa sebagai pendamping utama masyarakat, bukan hanya mematung di balik gedung.

Tan Malaka pernah berujar bahwa bila kaum muda yang terpelajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. Sudah tiba waktunya bagi mahasiswa untuk menjadi pendamping masyarakat dalam melakukan tindakan-tindakan revolusioner menuju mobilisasi sosial yang lebih sejahtera dan merata, serta berkesinambungan. Sebagai insan akademik, bukan hanya menjadikan masyarakat sebagai bahan diskusi, kajian dan tulisan serta mata pencaharian, tetapi juga, bahkan harus, bergelut dan bersama-sama dengan mereka melakukan perubahan yang semestinya.

Mengingat peran strategis mahasiswa dalam pemberdayaan masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Karimiyyah Beraji Gapura Sumenep, sebagaimana ini sudah banyak dilakukan oleh kampus-kampus yang lain, melaksanakan kegiatan kurikuler KKN (kuliah kerja nyata) berbasis PAR (participatory action research) sebagai pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan KKN berbasis PAR ini juga sebagai bentuk komitmen STIT Al Karimiyyah dalam rangka menjadi media bagi pemberdayaan masyarakat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua pihak dan unsur-unsur yang ada dalam struktur masyarakat itu sendiri. 

Kebijakan ini terlihat agak terlambat, mengingat keberadaan kampus STIT Al Karimiyyah memang di pinggiran kota Sumenep yang bersentuhan langsung dengan masyakat bawah. Bahkan sebagian besar mahasiswanya memang berasal dari kelas proletar tersebut. PAR sudah semestinya dijadikan model KKN yang dilaksanakan, disamping sebagai persyaratan teknis meraih gelar sarjana, juga sebagai langkah awal untuk mengembalikan mahasiswa pada komunitas asalnya. Bekerja bersama mereka dan terus menerus melakukan pendampingan sampai terwujud sebuah perubahan yang diharapkan.

Dengan demikian, mahasiswa peserta KKN berbasis PAR ini, bukan menjadi tenaga kerja bantu di masyarakat, yang hanya mengerjakan kebersihan kuburan dan masjid, membuat petunjuk jalan, mengajar, mengecat dan merehab fasilitas umum, membuat kue dan camilan, mendaur ulang sampar dan sejenisnya, tapi benar-benar berbaur dengan dan bersama masyarakat untuk mencari, menemukan, dan menganalisis masalah serta menetapkan cara penyelesaiannya melalui program yang disepakati dan dikerjakan oleh masyarakat sendiri secara berkelanjutan. Peran mahasiswa KKN berbasis PAR hanya sebatas pendamping masyarakat, bukan aktor utama dan masyarakat sebagai pembantu dan sekaligus penontonnya.

PAR ini tidak menempatkan mahasiswa sebagai sosok ilmuan yang sudah merasa tahu lebih dulu kebutuhan masyarakat sebelum berdialog dengan mereka. Cukup membaca referensi dan mereka-reka di balik meja, lalu sudah merasa memikirkan apa yang dipikirkan masyarakat. Mahasiswa harus memulai tindakan dari realitas keseharian masyarakat di sekitarnya. Bergabunglah dengan mereka, jangan menjadi generasi yang tercerabut dari akarnya. Mahasiswa harus punya prinsip: mati hidup bersama masyarakat!


(Tulisan ini dijadikan sebagai pendahuluan Laporan KKN PAR di Desa Essang Kec. Talango Kab. Sumenep Tahun 2016, dengan sedikit perubahan yang tidak merubah substansi tulisan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar