sumber: lontarmadura.com |
Di saat
orang-orang mulai tergila-gila dengan beragam hal baru yang serba instan,
karena ditopang oleh kecanggihan teknologi digital sebagai roh globalisasi,
inilah momentum paling baik baik untuk kembali meneguhkan akar kebudayaan di
mana setiap kaki bermula dan berpijak. Kemajuan bukan arah yang berlawanan
dengan lokalitas dengan segala kearifan nilai, norma dan tradisinya. Bergerak
maju sebenarnya adalah sebuah proses perjalanan yang melingkar menuju tempat
kelahiran: rahim kebudayaan lokal.
Nilai-nilai
asing yang berseleweran di depan mata tradisi kita telah banyak membius
beberapa generasi untuk keluar dari habitat kebudayaan yang semestinya.
Kebudayaan adalah sebuah rumah yang terbangun oleh fondasi nilai, berdinding
norma dan beratap kebiasaan. Selain itu, di dalamnya juga terdapat berbagai
perabot rumah tangga yang berupa karya-karya yang dihasilkan dalam proses hidup
bersama (paguyuban), salah satunya karya sastra, baik berupa cerita rakyat,
dongeng, foklor, pantun, syair, puisi dan jenis karya sastra yang lain.
Dari rumah
inilah, semestinya lahir generasi yang memiliki kepribadian dalam berpikir dan
bertindak sesuai situasi lokalitasnya, dengan tetap mempertimbangkan kenyataan
global. Kearifan lokal harus disandingkan dengan kenyataan global sehingga
melahirkan sikap yang moderat, lurus, tidak berat sebelah. Menutup diri dalam
kurungan kebudayaan lokal akan membuat kita tertinggal, sebagaimana terlalu
membuka diri bagi dinamika global akan membuat kita terjungkal. Diperlukan
sebuah karakter yang kokoh dan kesejatian yang kuat, agar nilai-nilai lokaitas
dapat terus diselamatkan dan diwariskan lintas generasi dengan terus elakukan
kolaborasi secara proporsional dengan tuntuntan dunia global.
Karakter dan
Kearifan Lokal
Karakter
selalu disepadankan dengan watak atau tabiat yang melekat dalam diri seseorang.
Goldon Allport menyebukan karakter sebagai kristalisasi dari
kebiasaan-kebiasaan seseorang. Apapun sebutannya, karakter bukan sesuatu yang
“telah ada’” atau menjadi bawaan sejak lahir. Karakter merupakan hasil dari
pergumulan banyak hal di luar, yang kemudian masuk menjadi “tumpukan daya” yang
menjadi kekuatan dalam berpikir dan bertindak, yang seterusnya menjadi sebuah
sikap hidup yang baku.
Hal-hal di
luar yang mempengaruhi tumbuhnya sebuah karakter, sangat beragam dan
bervariasi, bahkan melampaui sekat-sekat ruang dan waktu. Generasi yang hidup
di Madura, tidak dijamin akan benar-benar menjadi generasi Madura (dengan
berkarakter Madura), di tengah kepungan teknologi global yang membawa hal-hal
baru dari berbagai lintas ruang dan waktu. Mungkin saja, atau bahkan sudah
terjadi, kita akan menemukan tetatangga kita yang berperilaku, minimal bermode,
seperti orang Korea, Pakistan, Amerika, Prancis dan seterusnya. Dalam hal ini,
Barat tampak lebih dominan.
Tidak semuanya
cocok dimasukkan sebagai karakter, baik hal lama maupun hal baru. Prinsip ruang
dan waktu harus diperhatikan dalam proses pembentukan karakter, yang pada
akhirnya harus bermuara pada kearifan lokal masing-masing. Kenapa harus
berkearifan lokal? Karifan lokal adalah rumah pertama yang sengaja dibangun
oleh masyarakat dalam proses yang panjang untuk perkembangan generasi yang
dilahirkannya. Setiap masyarajat memiliki kondisi sosiogeografis yang berbeda,
sehingga tidak mungkin bisa diseragamkan dalam satu kebudayaan bersama
sebagaima yang tersirat dalam ilustrasi era global, yang Barat sentris. Tentu
akan terus terjadi pergumulan antara kerifan lokal dan kenyataan global dalam
merebut posisi paling dominan dalam proses penanaman karakter, jelas dengan
kepentingannya masing-masing.
Berarti, kearifan
lokal tidak sendiri. Ia berbenturan dengan banyak hal dalam menumbuhkan
karakter bangsanya. Bisa jadi ia menang atau kalah atau seimbang. Hal ini
menuntut adanya kreativitas tertentu, agar ia tak tertinggal dalam menyiapkan
generasinya untuk tampil di pentas kehidupan yang semakin tak terduga.
Bahasa dan
Sastra: Sebuah Usaha
Bahasa adalah
unsur paling dominan dalam setiap kebudayaan. Bahasa bukan hanya sebagai alat
berkomonikasi, tetapi juga jati diri. Bahasa akan memperkenalkan para
penuturnya secara apa adanya. Baik bahasa keseharian atau bahasa yang sudah
sedikit dimodifikasi menjadi sebuah karya sastra. Keduanya bisa dimanfaatkan
sebagai media yang paling urgun dalam menumbuhkan karakter berbasis kearifan
lokal, sesuai dengan kondisi sosial budaya.
Bahasa yang
paling tepat dijadikan sebagai media pembangunan karakter adalah bahasa yang
memiliki tingkatan (ondagga basa), seperti yang terdapat dalam bahasa
Jawa dan Madura. Khusus bahasa Madura, di dalamnya terdapat tiga tingkatan
mulai dari yang paling halus sampai yang kasar: enggi-bunten, enggi-enten
dan enja’-iya. Semua tingkatan bahasa tersebut memiliki wilayah dan
komunitas penuturnya masing-masing, sesuai situasi setempat dan relasi sosial.
Hanya saja, dalam persoalan penanaman karakter, bahasa halus yang paling banyak
berperan mengingat kehalusan dalam berbahasa juga menuntut kehalusan dalam
bersikap.
Ketika seorang
murid dipanggil gurunya, mereka akan menjawab dengan bahasa yang halus,
sebagaimana juga seorang bawahan ketika sedang bercakap-cakap dengan atasannya.
Bahasa yang dipakai akan berdampak pada sikap atau cara seseorang dalam
menuturkan bahasa tersebut. Apabila bahasanya halus, maka sikap yang
dimunculkan juga halus, dan begitu sebaliknya. Ada hubungan linier antara
bahasa yang diucapkan dengan muatan psikologis orang yang menuturkan.
Sementara itu,
sastra Madura juga tidak kalah penting sebagai media penanaman karakter. Sastra
Madura biasanya lebih banyak yang berupa pantun, papparegan, syi’iran
dan cerita rakyat serta lagu-lagu Madura yang biasa dinyanyikan anak-anak saat
bermain, seperti ping pilu’, lir-saalir, pa’-opa’ eling
dan seterusnya. Semuanya rata-rata berisi hal-hal yang bersifat religius sesuai
dengan kultur masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai pesantren.
Dengan demikian, semua karya satra tersebut mengandung nilai-nilai keteladan
yang sangat baik dijadikan sebagai pijakan untuk membangun karakter bangsa yang
berkearifan lokal.
Menggandeng
Tradisi
Bahasa dan
sastra Madura memerlukan satu media untuk bisa berperan lebih efektif dalam
proses penanaman karakter bangsa berbasis lokal, yaitu tradisi. Tradisi adalah
sumber nilai yang sangat dekat dengan masyarakat karena berupa
kebiasaan-kebiasaan yang sudah mendarah daging, lain halnya dengan sekolah.
Pemanfaatan tradisi ini sangat penting, karena merupakan produk masyarakat itu
sendiri dalam satu sisi, dan memberikan suasana yang lebih luwes dan penuh
keakraban, di sisi yang lain, disamping memang sejak dulu kala dijadikan
sebagai sarana pewarisan kebudayaan.
Pesantren
mislanya, menyimpan satu tradisi yang sangat baik terkait dengan penggunaan
bahasa. Di pesantren, bahasa halus lebih ditekankan terutama saat para santri
bercakap-cakap dengan kiai sekeluarga, pengurus pondok, para guru ataupun
dengan santri senior. Sampai hari ini, pesantren masih menjadi tumpuan harapan
dalam pelestarian bahasa Madura dan penananam karakter berbasis kearifan lokal.
Kopyah dan sarung yang menjadi icon busana orang-orang Madura menjadi
busana kebanggaan para santri.
Selain itu,
ada pula tradisi apol-kompol, walaupun tradisi ini sudah meulai
menghilang dan bermetaformosis menjadi tradisi kompolan. Tradisi apol-kompol
berlangsung sederhana dan alamiah antar beberapa tetangga dalam situasi tera’
bulan. Sementara kompolan sudah menjadi tradisi yang sedikit
terlembagakan dengan adanya orang yang dituakan dan aturan-aturan yang mulai
dibakukan. Kedua tradisi ini sering menjadikan bahasa dan sastra Madura sebagai
alat untuk menumbuhkan karakter bangsa, khususnya generasi Madura, yang
berkearifan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar