Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Rabu, 15 April 2015

Bahasa Arab, (seharusnya) Bahasa Kita

Kehidupan masyarakat Madura, secara kasat mata, selalu akrab dengan bahasa Arab. Ini satu kenyataan yang sudah membudaya dan membentuk peradaban Madura yang dipelopori oleh para wali, sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Sejak baru lahir, anak-anak orang Madura diperkenalkan pada bahasa Arab terlebih dahulu, melalui adzan di kuping kanan dan iqamah di kuping kiri.

Saya ingin melihat itu semua tidak dalam sudut pandang ritual keagamaan, tetapi lebih pada sebuah konsepsi budaya, yang salah satu strukturnya adalah bahasa. Juga tidak perlu ditafsirkan menjadikan agama sebagai budaya, walaupun antara keduanya membentuk jalinan yang erat sehingga sulit dipisahkan, kendati masih bisa dibedakan.

Nah, apabila agama (Islam) dan kebudayaan dalam masyarakat Madura tercipta keterpaduan yang menyatu, maka bahasa Arab sebagai “bahasa verbal” keislaman akan membentuk jalinan yang sama, atau paling tidak hampir sama dengan berbagai tradisi lokal di Madura. Sederhananya, dalam berbagai aktivitas keseharian kita, warga Madura, seringkali bahasa Arab mengambil peran, entah dalam kegiatan komunikasi vertikal (ritual), entah dalam komunikasi horizontal (kultural).

Bahasa Ritual
Bahasa resmi ritual keagamaan (baca: keislaman) masyarakat Madura adalah bahasa Arab. Ritual-ritual yang rutin maupun insidental selalu “memaksa” masyarakat Madura untuk senantiasa bergumul dengan teks-teks atau bacaan berbahasa Arab. Implikasinya, bahasa Arab bukan lagi menjadi bahasa Asing, tetapi menjadi bagian dari “bahasa kita” yang memerlukan pemahaman dan perkembangan lebih lanjut.

Ketidakasingan bahasa Arab ini, sekali lagi: dalam aktivitas ritual keagamaan, seharus memotivasi pelakunya untuk tahu dan mengerti, setidaknya bahasa Arab ritual keislaman yang sudah mendarah daging dalam aktivitas keseharian, seperti shalat lima waktu. Ya lucu saja, kalau setiap hari kita shalat dan setiap hari pula kita tidak pernah tahu perkataan kita dalam shalat, apalagi memang tidak muncul upaya untuk tahu.

Disinilah peliknya, jangan-jangan karena, ini hanya kecurigaan saya pribadi, sudah terbiasa tidak mengerti kemudian menjadikan ketidakmengertian itu hal yang biasa. Dan ini fatalnya: kebiasaan shalat lima waktu dengan segala macam bacaan di setiap gerakannya, justru malah mematikan rasa. Sehingga bahasa Arab yang akrab dengan kita hanyalah lambang dan bunyinya bukan makna dan artinya.

Bahasa Kultural
Di kampung saya, ada cukup banyak para sesepuh yang tidak bisa membaca tulisan latin (baca: tulisan yang bukan huruf Arab), tetapi sangat fasih kalau membaca tulisan-tulisan Arab. Ini sangat wajar, karena sampai sekarang, anak-anak di Madura memang lebih dahulu diperkenalkan, tepatnya diajarkan, membaca Al-Quran dengan menggunakan metode iqro’, qiro’ati, qur’ani dan sejenisnya. Bahkan sebelum bisa membaca, mereka sudah hafal huruf-huruf hijaiyah, sebagian doa-doa dan surat-surat pendek serta sepotong-potong bacaan shalat.

Sebagian masyarakat Madura memandang bahasa Arab sebagai bahasa yang sakral, bahkan mungkin sangat sakral. Meskipun mereka tidak mengerti sama sekali, tetapi mereka tetap tidak mau apabila mengadakan tahlilan dengan menggunakan bahasa Indonesia, atau baca shalawat dengan terjemahan bahasa Indonesia, bahkan prosesei pernikahan ijab qabulnya harus bahasa Arab, walaupun kadang lebih mantab pakai bahasa Madura.

Terlepas dari pertimbangan hitam putih dan kanan kiri, bahasa Arab mampu masuk ke dalam beragam bangunan kultural masyarakat Madura, dan kita tidak merasa terganggu dengan itu semua. Saya tidak bermaksud, dengan tulisan ini, menjadikan bahasa Arab sebagai penganti bahasa daerah dan nasional, tetapi lebih pada upaya melakukakukan harmonisasi budaya. Sehinggga nantinya, kita tepat dalam memilih bahasa, karena sudah jelas basisnya dalam ekosistem sosial yang kita tempati.

Upaya Tindak Lanjut
Eksistensi bahasa Arab yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat Madura, baik dalam aktivitas ritual maupun kultural, diperlukan apresiasi akademik yang serius, semisal dari STI Al Karimiyah melalui Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA), atau kampus lain yang serupa. Jangan sampai, momentum ini menjadi sia-sia belaka tanpa tindak lanjut pembaruan dan pengembangan yang jelas.

Diperlukan upaya-upaya strategis, penyusunan kurikulum, program dan manajemen yang komprehensif dan kompetitif, terutama dari pihak kampus dan pesantren. Jangan sampai, bahasa Arab sekedar alat “kominkasi bisu” yang sama sekali tidak menimbulkan aksi dan rekasi serta umpan balik dalam aktivitas sosial: vertikal dan horizontal.

Tulisan ini saya tutup dengan mengutip cerita dari teman, entah dari mana sumbernya, yang intinya begini: ada orang Madura pergi ke pasar mau membeli minyak wangi. Di sana ia menemukan penjual minyak yang menjual dua botol kecil minyak wangi yang berbeda. Satunnya minyak misik yang bertuliskan dengan huruf latin, satuya minyak babi yang bertuliskan dengan huruf Arab. Lalu dengan mantap ia membeli minyak babi.

Nah, siapapun Anda, mari kita berdoa sama-sama: jangan sampai rasa cinta kita terhadap bahasa Arab membuat kita membabi buta. Lho, cinta itu perlu. Logika juga perlu. Jangan juga seperti tetangga saya yang memukul anaknya gara-gara menyobek dan membuang sembarangan kertas yang bertuliskan huruf Arab. Padahal itu hanya pantun Madura yang kebetulan dituliskan dengan mememakai huruf Arab.


(Tulisan ini dimuat di Buletin Kreasi pada edisi 1 Februari 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar