Saya ingin melihat
itu semua tidak dalam sudut pandang ritual keagamaan, tetapi lebih pada sebuah
konsepsi budaya, yang salah satu strukturnya adalah bahasa. Juga tidak perlu
ditafsirkan menjadikan agama sebagai budaya, walaupun antara keduanya membentuk
jalinan yang erat sehingga sulit dipisahkan, kendati masih bisa dibedakan.
Nah, apabila
agama (Islam) dan kebudayaan dalam masyarakat Madura tercipta keterpaduan yang
menyatu, maka bahasa Arab sebagai “bahasa verbal” keislaman akan membentuk
jalinan yang sama, atau paling tidak hampir sama dengan berbagai tradisi lokal
di Madura. Sederhananya, dalam berbagai aktivitas keseharian kita, warga
Madura, seringkali bahasa Arab mengambil peran, entah dalam kegiatan komunikasi
vertikal (ritual), entah dalam komunikasi horizontal (kultural).
Bahasa
Ritual
Bahasa resmi
ritual keagamaan (baca: keislaman) masyarakat Madura adalah bahasa Arab.
Ritual-ritual yang rutin maupun insidental selalu “memaksa” masyarakat Madura
untuk senantiasa bergumul dengan teks-teks atau bacaan berbahasa Arab. Implikasinya,
bahasa Arab bukan lagi menjadi bahasa Asing, tetapi menjadi bagian dari “bahasa
kita” yang memerlukan pemahaman dan perkembangan lebih lanjut.
Ketidakasingan
bahasa Arab ini, sekali lagi: dalam aktivitas ritual keagamaan, seharus
memotivasi pelakunya untuk tahu dan mengerti, setidaknya bahasa Arab ritual
keislaman yang sudah mendarah daging dalam aktivitas keseharian, seperti shalat
lima waktu. Ya lucu saja, kalau setiap hari kita shalat dan setiap hari pula
kita tidak pernah tahu perkataan kita dalam shalat, apalagi memang tidak muncul
upaya untuk tahu.
Disinilah
peliknya, jangan-jangan karena, ini hanya kecurigaan saya pribadi, sudah
terbiasa tidak mengerti kemudian menjadikan ketidakmengertian itu hal yang
biasa. Dan ini fatalnya: kebiasaan shalat lima waktu dengan segala macam bacaan
di setiap gerakannya, justru malah mematikan rasa. Sehingga bahasa Arab yang
akrab dengan kita hanyalah lambang dan bunyinya bukan makna dan artinya.
Bahasa
Kultural
Di kampung
saya, ada cukup banyak para sesepuh yang tidak bisa membaca tulisan latin (baca:
tulisan yang bukan huruf Arab), tetapi sangat fasih kalau membaca
tulisan-tulisan Arab. Ini sangat wajar, karena sampai sekarang, anak-anak di
Madura memang lebih dahulu diperkenalkan, tepatnya diajarkan, membaca Al-Quran
dengan menggunakan metode iqro’, qiro’ati, qur’ani dan sejenisnya. Bahkan
sebelum bisa membaca, mereka sudah hafal huruf-huruf hijaiyah, sebagian doa-doa
dan surat-surat pendek serta sepotong-potong bacaan shalat.
Sebagian
masyarakat Madura memandang bahasa Arab sebagai bahasa yang sakral, bahkan
mungkin sangat sakral. Meskipun mereka tidak mengerti sama sekali, tetapi mereka
tetap tidak mau apabila mengadakan tahlilan dengan menggunakan bahasa
Indonesia, atau baca shalawat dengan terjemahan bahasa Indonesia, bahkan
prosesei pernikahan ijab qabulnya harus bahasa Arab, walaupun kadang lebih
mantab pakai bahasa Madura.
Terlepas dari
pertimbangan hitam putih dan kanan kiri, bahasa Arab mampu masuk ke dalam
beragam bangunan kultural masyarakat Madura, dan kita tidak merasa terganggu
dengan itu semua. Saya tidak bermaksud, dengan tulisan ini, menjadikan bahasa Arab
sebagai penganti bahasa daerah dan nasional, tetapi lebih pada upaya
melakukakukan harmonisasi budaya. Sehinggga nantinya, kita tepat dalam memilih
bahasa, karena sudah jelas basisnya dalam ekosistem sosial yang kita tempati.
Upaya
Tindak Lanjut
Eksistensi
bahasa Arab yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat Madura, baik dalam
aktivitas ritual maupun kultural, diperlukan apresiasi akademik yang serius,
semisal dari STI Al Karimiyah melalui Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA),
atau kampus lain yang serupa. Jangan sampai, momentum ini menjadi sia-sia
belaka tanpa tindak lanjut pembaruan dan pengembangan yang jelas.
Diperlukan
upaya-upaya strategis, penyusunan kurikulum, program dan manajemen yang
komprehensif dan kompetitif, terutama dari pihak kampus dan pesantren. Jangan
sampai, bahasa Arab sekedar alat “kominkasi bisu” yang sama sekali tidak
menimbulkan aksi dan rekasi serta umpan balik dalam aktivitas sosial: vertikal
dan horizontal.
Tulisan ini
saya tutup dengan mengutip cerita dari teman, entah dari mana sumbernya, yang intinya
begini: ada orang Madura pergi ke pasar mau membeli minyak wangi. Di sana ia
menemukan penjual minyak yang menjual dua botol kecil minyak wangi yang
berbeda. Satunnya minyak misik yang bertuliskan dengan huruf latin, satuya
minyak babi yang bertuliskan dengan huruf Arab. Lalu dengan mantap ia membeli
minyak babi.
Nah, siapapun
Anda, mari kita berdoa sama-sama: jangan sampai rasa cinta kita terhadap bahasa
Arab membuat kita membabi buta. Lho, cinta itu perlu. Logika juga perlu. Jangan
juga seperti tetangga saya yang memukul anaknya gara-gara menyobek dan membuang
sembarangan kertas yang bertuliskan huruf Arab. Padahal itu hanya pantun Madura
yang kebetulan dituliskan dengan mememakai huruf Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar