Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Minggu, 11 Desember 2016

Pesantren dan Tata Busana Orang Madura

sumber: dakwah.web.id
Di penghujung tahun pelajaran 2015/2016, adik lelaki saya baru lulus sekolah dasar. Ia orangnya suka bermain dan terbilang super aktif. Mungkin karena banyak dari teman sepermainannya, yang juga sama-sama baru lulus, ingin melanjutkan studi ke pesantren, akhirnya adik saya punya keinginan yang sama. Ia ingin pula mondok ke pesantren, padahal sebelumnya sangat ngotot mau melanjutkan ke salah satu SMPN favorit yang cukup jauh dari rumah. Pelan-pelan, orang tua saya menyukuri atas perubahan keinginan adik saya, yang menurut mereka sungguh di luar dugaan.

“Carikan adikmu pesantren yang cocok, tapi kalau bisa jangan terlalu jauh dari rumah!”, suara ibu lewat telepon pada suatu malam. Belum saya berpikir, tiba-tiba saja sudah nongol di pikiran sebuah pesantren yang memang sudah lama saya ganderungi: Ponpes Nasyatul Muta’allimin (Nasa) Mandala Gapura. Dulu saya pernah punya cita-cita untuk mondok di pesantren ini, tapi karena dorongan kuat orang tua, saya lalu disuruh mondok di Ponpes Mathali’ul Anwar Pangarangan Sumenep. Empat tahun di sana, ternyata saya menemukan banyak hal tak terduga yang sangat bermanfaat bagi kehidupan saya kelak.

Rasa penasaran akan pesantren Nasa ini tak pernah hilang dari pikiran: meskipun saya sendiri sudah tidak mungkin punya kesempatan. Selama ini saya hanya berhubungan secara individual dengan alumni santri di sana, bahkan dengan salah satu putera terbaik pengasuhnya, kala itu. Mungkin inilah kesempatan untuk semakin erat menjalin hubungan: adik saya harus mondok di Nasa. Saya pun bicara dengannya secara baik-baik, awalnya menolak, tapi pada akhirnya ia setuju dengan pilihan saya, kedua orang tua kami pun ikut merestuinya.

Kurang dari seminggu dari hari lebaran ketupat, adik saya berangkat ke pesantren. Beberapa hari menjelang keberangkatan banyak orang-orang, kerabat dan tetangga dekat yang ketar-ketir: khawatir adik saya tidak kerasan di pesantren. Kami sekeluarga juga demikian, dengan alasan yang sama: adik saya suka bermain. Barangkali dia tidak betah dengan aturan dan kebiasaan di pesantren. Tidak sebagaimana di rumah, semua di pesantren tertata dengan rapi sesuai ketentuan.

Keesokan harinya, setelah sehari di pesantren, tiba-tiba ada nomor baru nelpon dan seketika terdengar suara yang tak asing di seberang sana: “Kak, belikan saya kopyah hitam (songkok nasional), lalu antarkan sekarang ke pesantren!”, saya agak sedikit heran, dan tak sabar untuk bertanya: “Lho, kopyahnya kan sudah ada, kok mau beli kopyah lagi?”, adik saya segera menjawab: “Di sini semua santri ga boleh pakai kopyah selain kopyah hitam!”, saya pun mengerti dan langsung mengiyakan.

Saya berangkat membeli songkok hitam dan sekalian mengantarkannya ke pesantren. Sepanjang jalan, hati dan pikiran diliputi pertanyaan: apa gerangan yang menyebabkan pesantren melarang santrinya memakai kopyah apapun selain songkok hitam? Padahal memakai peci putih, peci yang biasa di pakai oleh orang Madura yang sudah berhaji, dan sejenisnya merupakan model kopyah yang sudah biasa dipakai para santri, baik saat masih di pesantren atau setelah pulang ke kampung halaman.

Sampai di pesantren, saya hanya menyerahkan kopyah yang dimaksud kepada adik saya. Saya tidak bertanya soal larangan memakai kopyah yang lain. Saya hanya mengamati situasi sekitar: semua santri memakai kopyah hitam, tidak ada satupun, semua sama. Saya pun teringat, saat mengantarkan adik saya kemarin, saat bertamu ke kiai pengasuh sebagai adat serah terima adik saya yang mau mondok, beliau mengenakan kopyah yang sama: songkok nasional. Ingatan saya juga menampilkan kenangan selama saya berhubungan adik sang kiai, yang kebetulan cukup akrab dengan saya, beliau juga hanya mengenakan kopyah hitam, dalam berbagai kesempatan.

Peci Putih dan Kopyah Hitam
Lama kelamaan, setelah berbulan-bulan, saya terus menjalin silaturrahim dengan warga pesantren, saya baru menemukan alasannya. Pesantren Nasa Mandala Gapura ini memiliki pertimbangan kebudayaan yang luar biasa. Sebuah pertimbangan yang terakumulasi dari rajutan nilai-nilai keislaman dan tradisi lokal yang sangat seimbang. Maka lahirlah sebuah kebijakan dan aturan pesantren yang berparas ganda; keluhuran agama dan kearifan budaya.

Aturan memakai kopyah hitam bagi para santri, bahkan bagi para kiai sekeluarga, merupakan bentuk penghargaan terhadap orang-orang yang sudah menunaikan secara sempurna rukun Islam kelima. Peci putih biasa digunakan sebagai mahkota oleh orang-orang Madura yang pergi berhaji sepulangnya dari tanah suci. Peci putih adalah identitas kesucian. Dalam kearifan budaya Madura, orang yang sudah berhaji harus suci hati dan pikirannya. Perbuatannya harus menjadi teladan bagi yang lain, dalam bahasa agama disebut haji mabrur. Kalau peci putih justru melambangkan sebaliknnya, sekedar manipulasi dan kegengsian diri, maka orang-orang Madura akan menyebutnya “jitasbani”: e attas ajji, e baba banni (di atas haji, di bawah bukan), alias haji fasiq!

Nasa sebagai pesantren yang berkearifan, berpandangan bahwa orang yang mengenakan peci putih dianggap sebagai perbuatan yang cangkolang: melanggar adat kesopanan terhadap para haji di Madura. Ini yang diwariskan kepada para santri dengan membuat sebuah kebijakan untuk mengenakan kopyah hitam. Sebelum berhaji, jangan coba-coba mengenakan peci putih: itu belum pantas dan melanggar kesopanan. Walaupun tidak dipatenkan sedemikian rupa, sehingga bila saja ada orang yang ingin menyembunyikan kehajiannya dengan memakai kopyah hitam, atau sebaliknya, ya silakan. Sebab dalam kebudayaan Madura, selalu ada ruang terbuka untuk segala perbedaan.

Waktu saya di pesantren, di Pangarangan Sumenep, maha guru kami, Kiai Abussuyuf Ibnu Abdillah pernah memberikan wejangan bahwa tata busana orang Madura yang disepakati oleh para kiai adalah memakai kopyah hitam, baju lengan panjang dan sarungan. Meskipun namanya “songkok nasional” yang bisa dikenakan oleh siapa saja, tapi orang-orang Madura menggunakannya sebagai identitas busana mereka (para lelaki). Memakai pakaian di luar itu, jelas merupakan budaya impor yang sebisa mungkin perlu dihindari, kecuali pada kasus-kasus tertentu sesuai tuntutan situasi.

Maka demikian, pesantren punya peran strategis dan fundamental dalam melestarikan kebudayaan Madura, terutama pesantren yang masih mempertahankan nuansa tradisionalnya. Memang sekilas tampak aneh, apabila ada pesantren yang sedari awal merupakan hasil konstruksi kebudayaan, tiba-tiba ingin keluar dari kebudayaan yang melahirkannya. Menjadi modern, bukan berarti harus mengganti pakaian dari sarung ke celana, tetapi merubah pikiran dari kebodohan dan kejumudan menuju kecerdasan dan pembauran. Tentu dengan tetap berkearifan lokal dan berdaya saing global.


Ares Tengah, 11 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar