Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan yang penuh berkah
bagi orang-orang Madura. Bukan karena pesta panien, bukan pula karena musim
hajatan, tapi merupakan momentum perayaan maulid nabi yang berlangsung
sepanjang bulan. Bukan hanya masjid, bukan pula sekedar langgar-langgar,
ataupun madrasah-madrasah, hampir setiap rumah di Madura, sesuai kesanggupan
dan kedudukan si tuan rumah, maulid selalu digelar. Bulan maulid benar-benar
bulan yang penuh dengan pesta pora aneka makanan dan buah-buahan.
Bulan ini dikenal dengan sebutan bulan Molod oleh
orang-orang Madura. Ada dua istilah yang seakar dalam bahasa Arab, tetapi
memiliki makna yang berbeda, yaitu maulid dan maulud. Maulid
adalah waktu atau tempat kelahiran seseorang, orang ahli bahasa menyebutknya isim
zaman dan isim makan. Kalau dikaitkan dengan nabi, ya hari kelahiran
nabi disebut dengan maulidun nabi. Bertepatan pada hari Senin, tanggal
12 Rabi’ul Awwal, sebagaimana ahli sejarah mengatakan.
Sedangkan maulud, merupakan seseorang atau anak
yang dilahirkan. Menurut para santri, ditilik dari bentuk kalimat Arabnya, ia
merupakan isim ma’ful (objek dari sebuah peristiwa/pekerjaan). Kalau
dihubungkan dengan nabi, yang dimaksud dengan maulud, ya kanjeng Nabi itu
sendiri, sebagai pula seorang utusan yang membawa risalah Islam kepada seluruh
alam, dengan misi utama: rahmatan lil’alamien.
Maulid merujuk pada hari kelahiran nabi, sedangkan
maulud adalah nabi itu sendiri. Dari sini, istilah molod di Madura,
lebih dekat kepada kata maulud dalam bahasa Arab, bukan maulid. Banyak
orang yang kurang membedakan secara arif antara hari kelahiran dan nabi yang
dilahirkan. Perayaan hari kelahiran dalam kasus-kasus tertentu memiliki titik
tekan yang tidak sejalan dengan perayaan atas nabi yang dilahirkan. Para sepuh
pernah berujar bahwa molod adalah upaya mengagungkan nabi, bukan sekedar
perayaan hari kelahiran nabi. Makanya, dahulu kala di Madura, molodan
bukan hanya tradisi di bulan maulid saja, terdapat pula pada bulan-bulan yang
lain: sekali lagi, yang penting nabinya bukan mementum hari kelahirannya.(baca lebih lanjut: Tradisi Maulid dan Kesadaran Melanjutkan Misi Profetik Nabi)
Hati-hati dengan Mulut
Abu Sulaiman ad-Daroni menuturkan sebuah hadits
yang sebagian isinya menjelaskan bahwa kenyang adalah kunci dunia dan lapar
adalah kunci akhirat. Kenyang dan lapar adalah dua peristiwa kemanusiaan yang
wajar, dengan perut sebagai lokusnya dan mulut sebagai pintunya. Berawal dari
mulut, perut bisa kenyang atau lapar. Peristiwa kewajaran ini akan menjadi lain
dan membahayakan ketika kenyang dan lapar tidak hanya berurusan dengan sesuap
nasi, tetapi segudang ambisi.
Kenyang dan lapar adalah sebuah simbol yang bisa
diterjemahkan secara beragam ke dalam kehidupan dan kebudayaan. Ada orang yang
lebih suka memburu kekenyangan, adapula yang senang dengan kelaparan. Ada orang
yang sudah kenyang, dengan kerakusan dan keangkuhannya, dia terlihat lebih
lapar dari orang-orang yang lapar. Adapula orang yang lapar, dengan qana’ah
dan syukurnya, dia tampak lebih kenyang dri orang-orang yang sudah kekenyangan.
Banyak orang yang tak kenyang-kenyang dengan
kekuasaan, sampai akhirnya terus berebutan jabatan. Tanpa malu-malu, baru
keluar dari penjara, langsung ingin naik kursi lagi. Banyak orang yang terus
merasa lapar dengan uang, sampai melakukan cara apapun untuk terus menimbun
kekayaan, walau sebenarnya sudah melibihi batas kekenyangan. Diperlukan
proteksi yang jujur dan berani, apakah diri ini termasuk orang yang lapar atau
kenyang, agar mulut tidak hanya bekerja untuk memanjakan perut.
Berhati-hatilah dengan mulut: mulut bisa menelan
apa saja. Terlebih ketika mendapat dorongan energi dari ambisi untuk selalu
ingin kenyang. Jagalah mulut agama kita dari mengharap selain ridlaNya, mulut
sosial dari kedengkian terhadap sesama. Mulut politik dari syahwat kekuasaan
dan mulut ekonomi dari kerakusan. Dan mulut-mulut yang lain dari berbagai
sergapan tipuan dunia yang menjadi pangkal segala kesalahan.
Bermolod tanpa Mulut
Buah-buahan itu semakin berkah kalau dijadikan
rebutan, pitutur seorang kiai di tengah-tengah acara maulid di Madura. Sudah
lazim, buah-buahan, palotan (sejenis beras), makanan bahkan taburan yang
recehan menjadi icon perayaan maulid nabi di Madura. Semua itu adalah
piranti dunia, yang akan bisa menimbulkan efek duniawi belaka bila tidak disetting
sedemikian rupa, terutama yang menyangkut niat dan segala hal yang muncul dari
hati dan pikiran.
Perayaan maulid yang melibatkan banyak piranti
dunia akan lebih mudah menjebak seseorang pada dimensi kepuasan mulut yang
berakhir di perut, bukan hakikat molod. Sesuai keyakinan ahlussunnah
wal jama’ah, kanjeng Nabi akan selalu hadir dalam setiap pembacaan
shalawat. Kehadiran kanjeng Nabi seharusnya lebih disambut dengan perhatian
yang fokus dan hati yang khusyu’. Setidaknya, ada semacam keyakinan dan upaya
untuk merasakan kehadiran kanjeng Nabi, kalau masih dirasa sulit: kita harus
tahu bahwa kanjeng Nabi sedang bersama kita disaat shalawatan.
Terus, bagaimana mungkin muncul perilaku-perilaku
yang melanggar nilai-nilai kemesraan dan keagaungan, dengan lebih memberatkan
perhatian pada buah-buahan yang dihidangkan? Bagaimana bisa kita rebutan
buah-buahan di saat kita justru sedang meyakini atau paling tidak mengetahui kehadiran
kanjeng Nabi? Apakah perayaan maulid nabi juga diam-diam jadi pelampiasan
ambisi akan rasa kenyang terhadap dunia?
Harus selalu diingat bahwa molod dan mulut
adalah dua hal yang hampir selalu bertabrakan. Keduanya bisa sejalan hanya
dengan memahami esensi masing-masing dan menata serapi mungkin niat di hati dan
sudut pandang di pikiran. Makan dan minum adalah perintah agama, tapi ya jangan
sampai keterlaluan dan kebablasan. Tradisi molodan di Madura tidak disetting
untuk sekedar makan dan minum saja, namun lebih pada upaya membuka hati lebih
lebar untuk kehadiran kanjeng Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Buah-buahan boleh disajikan, makanan dihidangkan,
dan uang ditaburkan: semua itu hanya demi tata rias dekorasi tapi panggung
utamanya adalah shalawatan. Di panggung itulah kita mengundang kanjeng Nabi
untuk datang dan berbagi rahmat Tuhan di tengah kehidupan yang semakin ringkih
oleh nafsu kebendaan. Bila riasan dekorasi justru lebih menarik perhatian,
dibandingkan kehadiran sang nabi junjungan, sungguh sebuah penghinaan yang tak
terbayangkan.
Sesekali, mulut perlu dipenjarakan dan perut
diterlantarkan, agar hati dan pikiran benar-benar ikut merasakan molodan.
Tak pernahkan hati penasaran, jika suatu nanti, akan pula mampu merasakan
kehadiran makhluk terindah Tuhan di saat sedang shalawatan? Keindahan kanjeng
Nabi hanya mampu dirasakan oleh hati yang diliputi keindahan. Kerakusan
terhadap dunia akan mematikan segala keindahan yang sudah atau akan muncul
dalam hati seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar