Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Rabu, 15 April 2015

Makna Tera’ Bulan dalam Tradisi Apol-kompol Orang Madura


Di bawah sinar bulan, di sekitar tanggal lima belas bulan purnama (malem tera’ bulan), menurut perhitungan kalender hijriyah, atau orang Madura menyebutnya pananggalan Madura, adalah momentum istemewa bagi masyarakat Madura yang dimanfaatkan untuk apol-kompol, baik dengan sesama keluarga atau tetangga sekitar. Tradisi ini berlangsung di halaman rumah (taneyan) dengan beralas tikar yang terbuat dari anyaman daun siwalan. Para orang tua dan anak-anak berkumpul, laki–laki dan perempuan, sambil bersenda gurau di sela-sela percakapan tentang pengalaman hidup sehari-hari.

Dengan sinar bulan yang terang, berwarna kuning keemasan, dibantun oleh cayaha damar conglet dan damar talpe’ sebagai pelita rumah orang Madura pedesaan sebelum listrik masuk, para kakek/nenek dan bapak/ibu bercerita dan berdongen kepada cucu dan anak-anak mereka. Atau para orangtua bercengkrama dengan sebayanya, sedangkan anak-anak bermain petak umpet dan permainan lainnya di halaman. Lagu-lagu Madura seperti pa’-kopa’ eling, ping pilu’ dan lir-saalir sering disenandungkan oleh mereka sambil bertepuk tangan berlarian dan main kejar-kejaran. Bila di antara anak-anak itu ada yang terjatuh, lalu orang tua datang perlahan sambil mengucapkan mantra penyembuhan: bularak kolare tarebung manyang, baras mare tedung nyaman.

Bukan hanya itu, tradisi apol-kompol di bawah tera’ bulan, sering dijadikan sebagai media mewariskan berbagai kearifan lokal kepada anak-anak sebagai generasi penerus kebudayaan Madura. Di sinilah, para orang tua (sebutan orang tua ini tidak terbatas pada eppa’ dan embu’ secara nasab) mengajarkan dan anak-anak belajar tentang nilai-nilai luhur ke-Madura-an melalui syi’iran dan pantun Madura serta paparegan yang dilestarikan secara lisan (oral). Syi’ir Madura biasanya lebih bernuansa agamis, berisi tentang nasehat, ajaran dan cerita-cerita yang bersumber dari agama Islam. Pantun isinya lebih luas, bukan hanya ajaran agama, tetapi kadang berupa sindiran dan hal-hal yang bersifat lucu. Sementara paparegan lebih bersifat umum lagi dan tidak ada aturan baku sebagaimana syi’ir dan pantun, bahkan kadang hanya berupa senda gurau dan celetukan saja, seperti : pangkor koneng nyang kornyangan, oreng dapor nyang kencangan.

Tera’ Bulan Versus Lampu Pijar  
Nuansa kearifan tera’ bulan dalam tradisi apol-kompol masyarakat Madura sedikit mengalami perubahan (penyusutan) di tengah gemerlap lampu pijar sebagai penerang kegelapan hari (malam). Cahaya bulan yang sejuk tentu tidak akan mampu mengalahkan sinar lampu pijar yang menderang, mulai dari lampu bohlam, neon, halogen dan lampu LED. Tera’ bulan jadi tertutup bukan karena terhalang awan hitam tebal, yang dikabarkan bulan sedang tidur oleh ibu-ibu kepada anaknya ketika mereka bertanya tentang bulan yang tidak tampak pada saat apol-kompol, tetapi karena pandangan manusia sudah terkurung dalam pijaran lampu buatan pabrik sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap kebiasaan hidup mereka.

Tera’ bulan membawa nilai peradaban yang berlangsung bertahun-tahun dalam kebudayaan Madura. Tera’ bulan adalah milik bersama, sehingga cara menikmatinya bagi masyarakat Madura juga dengan bersama-sama keluarga dan tetangga, melalui opol-kompol di halaman. Berbeda dengan lampu pijar, apapun jenisnya, setiap rumah memilikinya sendiri-sendiri. Rumah yang lampunya lebih terang menunjukkan si pemiliknya lebih sejahtera dari penghuni rumah yang lain. Terciptalah garis-garis vertikal kebudayaan melalui “sistem penerangan”: yang kaya memakai lampu neon, yang miskin hanya memakai lampu bohlam 5-10 watt.

Dampak akhir dari “fenomena bid’ah” tersebut adalah mulai renggangnya ikatan batin kebersamaan masyarakat Madura. Hari ini mungkin tidak begitu tampak, tapi lambat laun akan menjadi benalu budaya yang akan beranak-pinak merasuk ke berbagai pandangan hidup dan sikap mental keseharian.

Kompolan: Sebuah Metamorfosis?
Tradisi apol-kompol dengan segala variabelnya sudah tak terhitung lamanya menemani kehidupan orang Madura sebagai salah satu wujud kebudayaan yang sarat nilai. Belakangan ini, apol-kompol sebagai sebuah tradisi sudah mulai terdesak ke pinggiran bersamaan dengan semakin sibuknya masyarakat Madura dalam meladeni kapitalisme global. Nilai-nilai baru berupa individualisme, liberalisme dan hedonisme semakin mengebiri masyarakat dari ranah kultur lokalnya, meskipun tidak secara merata dan kentara. Tradisi apol-kompol memerlukan modifikasi baru untuk tetap eksis dan menjadi cara dalam menyikapi berbagai pengaruh kebudayaan asing yang tersebar dalam berbagai wajah kolonialisme global. Maka lahirlah tradisi kompolan dalam lingkungan budaya masyarakat Madura yang sedikit lebih muda usianya dari tardisi apol-kompol, sebagai bentuk tafsir baru dan sekaligus pengejawantahan dari falsafah belajar orang Madura: sek-esek berras pote.

Meskipun bukan di bawah sinar bulan, tradisi apol-kompol telah menjadi roh yang menghidupi tradisi kompolan orang Madura. Memang terdapat sedikit nuansa perbedaan antara opol-kompol dengan kompolan, sebagaimana dijelaskan oleh K. A. Dardiri Zubairi, saat ditemui di kediamannya, di kompleks Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep menerangkan bahwa “tradisi kompolan sudah sedikit terlembagakan, dengan adanya orang yang “dituakan” sebagai ketua atau koordinator dan waktu pertemuan yang sudah ditentukan (seperti setiap malam rabu).” Sedangkan tradisi apol-kompol berlangung secara alamiah, tanpa ada waktu berkumpul yang jelas, bergantung pada tera’na bulan dan tidak ada yang memimpin.

Namun demikian, baik apol-kompol maupun kompolan adalah dua tradisi yang tumbuh dari akar kebudayaan masyarakat Madura yang berbasis keagamaan (keislaman). Hal ini sejalan dengan pernyataan K. A. Dardiri Zubairi, seorang kiai muda yang aktif di NU Cabang Sumenep, bahwa “tradisi kompolan di Madura, pada awalnya dimotori oleh para santri, sehingga lahirlah berbagai kompolan yang bersifat keagamaan seperti kompolan tahlilan, yasinan dan shalawatan. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri belakangan muncul kompolan di luar motif agama, seperti kompolan manu’ (burung).”

Menilik hal tersebut, keberadaan kompolan sebagai metamorfosis dari tradisi apol-kompol orang Madura selalu berkonotasi positif (sekali lagi: pada awalnya), karena dikomandani oleh para santri, baik santri langgar atau santri pesantren, dengan motivasi keislaman yang kuat, lebih-lebih Sumenep yang menjadi basis kebudayaan santri di Madura. Sebagai bentuk aksi nyata kepeduliannya terhadap budaya Madura, kiai muda penulis buku “Rahasia Perempuan Madura” ini, telah menggagas dan mendirikan, dengan dibantu oleh sahabat-sahabat beliau, kompolan tera’ bulan sebagai media untuk belajar bersama dan jalan kembali kepada akar budaya sendiri.

(Tulisan ini dimuat di Tabloid Mata Sumenep pada edisi 11 02-15 Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar