Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Minggu, 18 Desember 2016

Pangantan Madura: Kilas Balik Tradisi dan Makna Falsafi (1)

sumber: lontarmadura.com
Menyelami kehidupan masyarakat Madura dari masa ke masa akan menemukan sejumlah kearifan dalam berbagai bentuk tradisi, adat dan kebudayaan, meskipun sudah mulai tertimbun oleh gemerlap kehidupan yang serba materialistik. Masyarakat bukan hanya kumpulan orang-orang dengan segala wujud benda-benda yang dihasilkannya. Masyarakat adalah sumber nilai-nilai yang terlembagakan dalam berbagai norma kebiasaan dan hukum sosial yang mengakar dan berkesinambungan.

Terlepas dari ketetapan universal bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, keberadaan sebuah tradisi tetap menjadi acuan kearifan yang senantiasa menuntut perhatian dan tagihan-tagihan primordial untuk terus dilestarikan. Berperang melawan dinamika sosial masyarakat modern, tradisi dapat digunakan sebagai senjata dalam menangkis dan menyerang sekaligus isme-isme yang bertolak belakang dengan kultur lokal kemaduraan.

Sangat ironi dan gegabah, bila pembaruan dan kemajuan disyaratkan harus menolak tradisi, sebagaimana juga terjadi pada gerakan puritanisasi Islam yang dipahami sebagai upaya penghapusan tradisi masyarakat, yang terus mempertentangkan antara fenomena historis dan doktrin normatif. Padahal, tradisi adalah rumah, yang menjadi tempat pulang, tinggal dan berkarya membangun masa depan yang lebih baik. Layaknya sebuah rumah, tradisi butuh perawatan dan modifikasi sesuai kondisi yang ada, dan jangan terlalu lama ditinggalkan, agar ia tidak roboh sebelum mampu membangun rumah yang baru. Salah satu tradisi yang sangat membutuhkan sentuhan perawatan dan pembaharuan adalah tradisi pangantan Madura.

Pangantan Madura, sebagai sebuah tradisi yang sudah melembaga di lintas ruang dan waktu, meskipun sudah mulai luntur dari warna aslinya, menyimpan serumpun makna sosial dan ajaran filsafat rumah tangga yang sangat luhur, selain mengandung daya seni yang menghibur. Oleh karena itu, membiarkan tradisi pangantan Madura dalam keadaannya yang sekarang (baca: tersisih dan terserat oleh “glamorisme”), merupakan sikap apatis yang haram, dan berimplikasi pada runtuhnya sendi-sendi moralitas kemaduraan.

Pangantan Masa Silam Vs Masa Kelam
Prosesi pangantan Madura, memiliki bagian-bagin tersendiri yang unik di setiap tempat, walaupun punya benang merah yang mengikat secara universal. Sebab itulah, tulisan ini tidak bermaksud membatasi tradisi pangantan Madura, tetapi sekedar menginformasikan dan mengkaji beberapa sisi sesuai dengan sudut pandang dan pengalaman penulis. Kemungkinan terjadi perbedaan-perbedaan sangat besar, justru inilah wujud kreativitas para leluhur orang Madura, terutama mereka yang menjadi kreator budaya, dengan menyelipkan berbagai nilai-nilai dan kearifan yang tak terhingga.

Bermula dari ingatan di masa kecil dan hasil informasi dari beberapa sesepuh, secara umum tradisi pangantan Madura di masa silam, menjadi ajang mengolah ilmu dan kedigdayaan yang sangat dalam dan penuh kesantunan. Kedua hal tersebut sama-sama ditunjukkan oleh para perwakilan kedua mempelai, sesuai dengan jumlah rombongan masing-masing. Setiap rombongan mempunyai posisi dan tugas yang berbeda sehingga tertata dengan rapi, tidak seperti tradisi pengantin Madura yang berkembang dewasa ini.

Rombongan pangantan Madura terdiri dari beberapa kelompok yang membentuk garis memanjang (horizontal), dari paling depan sampai paling belakang. Kelompok paling depan adalah para anak-anak perempuan usia belasan tahun dengan pakaian ala kedaton, berperan sebagai dayang, yang berjumlah delapan sampai dua belas orang, sambil membawa berbagai jenis kue, biasa disebut dengan kelompok patampa, berasal dari bahasa Madura, nampa. Jumlahnya tidak boleh ganjil, karena mereka harus berjalan berpasangan satu sama lain, dengan jajan yang etampa e tanang, sampai rumah tujuan.

Kelompok kedua, berada di baris kedua, adalah para sesepuh yang memiliki kapasitas mumpuni di bidang sastra dan budaya Madura, dengan pakaian resmi sesuai adat tinggi Madura, yang berjumlah sebanyak enam sampai dua belas orang (harus genap), berjalan beriringan dengan penuh sopan santun, biasa disebut pangereng, berasal dari bahasa Madura, ngereng. Tugas para pangereng adalah melakukan serah terima dengan bahasa Madura tinggkat tinggi, baik strata maupun sastranya, baik dalam bentuk ceramah, papparegan ataupun tembang, yang saling berbalas-balasan.

Kelompok ketiga, terdiri pangantan lake’ sebagai pangantin utama, dengan pengantin-pengantin lain (pengantin pendamping), yang terdiri dari kerabat dekat, lengkap dengan kelompok pembawa dan penabuh musik saronen selaku pengiring kenca’na jaran yang ditunggangi oleh para pengantin. Ini didasarkan pada kebiasaan bahwa iring-iringan pengantin dimulai dari rumah pangantan lake’, untuk menjemput pangantan bini’. Kemudian secara bersama-sama (pangantan lake’ ban bini’) beriringan kembali ke rumah pangantan lake’ sebagai bentuk balasan.

Di barisan paling akhir, biasa terdiri dari orang-orang yang ikut nimbrung mengiri pengantin, baik anak-anak ataupun orang tua, laki-laki atau perempuan, berjalan kaki atau naik sepeda, yang secara suka rela menjadi partisipan dalam rangka semakin memeriahkan tradisi pangantan tersebut. Suara teriakan dan tawa mereka bercampur baur dengan lantunan bunyi saronen. Kemeriahan ini ditambah dengan orang-orang yang meskipun tidak ikut mengiring, tapi sengaja ngamba’ (menunggu) di pinggiran jalan yang menjadi jalur lintasan rombongan pangantan. Mereka berjibaku merebut tempat terdepan dengan penuh senyum dan tawa lebar yang sesekali melambai tagan pada pangantan yang melenggok di atas kuda sesuai iringan saronen.

Begitulah sekilas struktur komponen pangantan Madura di masa silam, yang jelas sangat berbeda dengan pangantan masa sekarang yang sudah mulai kelam. Meskipun sama-sama pangantan jaran (pengantin kuda), kelompok patampa dan pangereng sudah mulai tidak dipakai dan cukup hanya dengan sekelompok pengantin dan penabuh saronen. Itupun tidak tertata rapi seperti dahulu dan lebih mementingkan kualitas kuda dengan kenca’na yang apik dan group saronen dengan dandanannya yang menor, dari pada adat kemaduraan yang dilandasi pertimbangan etis dan estetis.

Lebih jauh lagi, munculnya pangantan koadi (pengantin di atas pelaminan) semakin menambah runyam persoalan dan merusak beberapa tradisi yang sudah mengakar cukup lama. Saronen sudah tidak dipakai lagi dan diganti dengan orkes dangdut dan pagelaran seni tayub yang semakin tidak jelas moralitas keseniaanya. Tembang-tembang kasmaran, aratate dan senom yang biasa dilantukan oleh para pangereng pangantan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, yang berisi falsafah dan ajaran hidup berumah tangga, diganti dengan kejung-kejung murahan dan temangan yang tidak jelas arahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar