sumber: news.okezone.com |
Maulid hanya untuk nabi, sementara haul untuk siapa saja, selain nabi. Sebab dalam konsep maulid, nabi tidak pernah meninggal, tapi akan selalu lahir dalam dunia internal (diri individu) dan eksternal (lingkungan sosial) umat beliau yang selalu mencintainya. Dalam rangka menghadirkan kembali nabi di ruang kehidupan keseharian, maulid diadakan, dengan beragam teknik dan bentuk yang berbeda, tergantung kapasitas dan keinginan pelaksananya, entah perorangan atau rombongan (lembaga, kelompok dan organisasi).
Ada yang paling
sederhana, duduk lesehan sambil shalawatan, ngobrol santai lalu pulang. Ada
juga yang hanya bershalawat lalu rebutan buah-buahan, makan-makan, kemudian
bubaran. Bahkan ada yang lengkap dengan sistematika acara tertentu, dengan
menghadirkan penceramah khusus. Tentu ada juga yang bershalawat secara
sembunyi-sembunyi, dengan keluarga sendiri, atau mungkin hanya berduaan dengan
nabi, penuh kekhusyuan tanpa hura-hura.
Shalawat dan
Simbolisasi Buah
Inti dari
kegiatan maulid nabi adalah bershalawat. Shalawat yang biasa dibaca oleh
masyarakat adalah shalawat maulid ad-Diba’iy, karya Abdurrahman bin Ali bin
Muhammad As-Syaibani, shalawat maulid al-Barzanji, karya Sayyid Ja’far bin
Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji, dan untuk wilayah pantura Sumenep, banyak membaca
shalawat An-Nur As-Sathi’, yang ditulis oleh KH. Thaifur Ali Wafa, Ambunten
Sumenep.
Shalawat
ditilik dari pengertian yang paling sederhana adalah rahmat (kasih sayang). Bershalawat
maksudnya adalah memohon tambahan rahmat atas Nabi Muhammad beserta seluruh
keluarga dan sahabatnya, dengan satu keyakinan dan tujuan, kita akan dapat
cipratan dari tambahan rahmat yang Allah tuangkan kepada nabi terakhirNya
tersebut. Ibarat telaga atau danau yang yang sudah penuh, tambahan rahmat yang
berupa hujan dari langit akan membuat telaga itu meluas, mengalirkan airnya
yang berlebih kepada tanah rendah di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan misi
utama kerasulan Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil’alamin.
Lalu, apakah
aliran shalawat dari kanjeng nabi akan sampai begitu saja kepada kita secara
alamiah? Ataukah diperlukan upaya-upaya rasional yang dilakukan secara
istiqomah? Apakah sanjungan kepada nabi hanya berhenti pada ungkapan pujian
semata, tanpa harus dibarengi dengan meneladani sikap-sikap beliau? Bukankah
shalawat yang berwujud rahmat itu harus direalisasikan secara nyata dan
dirasakan oleh semuanya?
Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut adanya tafsir kreatif bahwa shalawat
tidak hanya dibacakan, tapi juga dikerjakan. Para pembaca shalawat adalah
orang-orang yang hanya menggunakan shalawat di bibir dan tenggorokan saja.
Mereka tidak mengerti hakikat bershalawat dan merasa cukup bershalawat hanya
dengan ucapan. Sementara para pelaku shalawat adalah orang-orang yang
mengerjakan shalawat dalam berbagai akhlak kehidupan sehari-hari. Mereka bukan
hanya pembaca, tetapi pekerja dari berbagai nilai dan bentuk shalawat sehingga
mampu menjadi rahmatan lil’alamin, pelanjut misi kanjeng nabi dalam membangun
kedamaian dunia dengan risalah Islam.
Karena
shalawat harus dikerjakan, maka simbolisasi buah dalam tradisi maulid menemukan
maknanya yang tepat. Buah adalah apa yang dihasilkan dan diharapkan dari
sebatang pohon tertentu. Manusia yang bershalawat harus mampu mengahadirkan
“buah sosial” yang berupa kebaikan-kebaikan untuk kebersamaan dan kemanusiaan,
sesuai dengan struktur dan peran sosialnya masing-masing. Seorang pemimpin,
buah sosialnya adalah menyejahterahkan rakyatnya. Seorang alim adalah mengamalkan
dan mengajarkan ilmunya. Seorang kaya adalah kepeduliannya kepada orang miskin
dengan mendermakan hartanya. Buah sosial seorang rakyat adalah memilih pemimpin
yang jujur dengan tidak menjual suaranya. Maksud kata “adalah” di sini hanya
sebatas satu contoh, tanpa menutup kemungkinan berbagai kebaikan yang lain.
Maulid dan
Tanggung Jawab Profetik
Objek
peringatan maulid nabi adalah Nabi Muhammad dan risalah yang dibawanya. Cinta
kepada nabi yang mendasari pelaksanaan maulid adalah cinta padi diri nabi dan
ajaran-ajarannya yang teraktualisasikan dalam setiap perilakunya. Nabi Muhammad
dan ajarannya adalah satu paket, sama-sama menjadi anugerah tersebesar Allah
kepada manusia dan seluruh alam semesta. Dengan dimikian, mencintai nabi tanpa
mengamalkan risalah yang disampaikannya adalah sebuah kebohongan.
Ada hal
menarik yang diungkapkan oleh KH. Taufiq Syakur, MA, saat ditemui di
kediamannya, di Banselok, belakang Masjid Jami’ Sumenep, beliau menuturkan
bahwa “tradisi maulid merupakan sebuah rekayasa para pendahulu kita untuk menyusukuri
kelahiran Nabi Muhammad”. Pendapat beliau mengisyaratkan bahwa kehadiran nabi
merupakan satu kenikmatan tersebesar yang telah membawa kehidupan yang penuh
cahaya ilahiah, dengan ajaran Allah yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu,
“hal yang paling penting untuk dikampanyekan dalam tradisi maulid adalah
sikap-sikap keteladanan Rasulullah, yang harus dicontoh oleh seluruh umat
beliau,” tutur Kiai alumnus Timur Tengah
tersebut, yang tidak berkenan untuk disebutkan nama dan tempat universitasnya.
Satu catatan
penting yang harus diperhatikan bahwa tradisi maulid tidak hanya sebatas
seremonial belaka. Bukan sekedar ajang adu cinta kepada nabi dengan mengadakan
perayaan besar-besaran, dan arena menghamburkan uang sampai puluhan juta
rupiah. Tetapi maulid adalah awal untuk memulai, dan proses menghadirkan
kembali nabi ke dalam ruang batin kita, untuk bisa menghasilkan “buah sosial”
sebagai lanjutan tanggung jawab profetik kanjeng nabi. Bukankah gairah
memperingati maulid nabi harus diimbangi dengan gairah menunaikan zakat,
kesediaan berkurban, kedermawanan bershadaqah dan berinfaq, serta berbagai
kepedulian kepada orang-orang fakir miskin dan anak-anak yatim? Maulid adalah
momentum untuk berbagi, bukan kamuflase dari sebuah pelarian tanggung jawab
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar