Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Senin, 12 Desember 2016

Haji dan Manipulasi Religius

Pak Sukimin bukan orang kaya, tapi beliau punya cita-cita mulia: naik haji. Maka ia bekerja keras, siang malam, sampai kadang lupa istri anak cucu. Di tengah perjalanan umurnya yang semakin senja, ia berlomba dengan ajal: jangan sampai aku mati sebelum naik haji. Apalagi setelah pulang dari pengajian umum kemarin malam, niatnya semakin mantap: kata pak kiai tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga. Lho, jangan heran, siapa yang tak kepincut dengan segala kenikmatan surga?

“Pak, apa tidak sebaiknya uang yang sampean simpan tuk naik haji digunakan untuk biaya pendidikan anak cucu kita?” Suatu sore, selesai shalat Maghrib, istrinya memberikan usul. Jelas saja pak Sukimin sewot. Haji lebih penting dari sekolah anak cucunya. Bahkan lebih penting dari hidup seluruh keluarganya, yang sedikit kekurangan.

Tidak masalah hidup miskin asalkan bisa naik haji. Tuhan menanggung riski semua mahklukNya, apalagi makhlukNya yang sudah berhaji. Nasib anak istri langsung dipasrahkan kepada Tuhan. Dan Tuhan Yang Maha Penyayang, tentu akan sangat senang. Itulah yang membuat pak Sukimin terus bersikukuh: tak perlu mendengar ocehan istri dan anak-anaknya. Sepetak sawah dan dua ekor sapi peliharaannya, sudah dijual untuk membayar ONH.

Pak Sukimin hidup di sebuah kampung yang sangat religus: kiai yang memimpin kampung ini, setiap tahun selalu berhaji, kebetulan beliau punya KBIH. Hampir di setiap kesempatan, di acara pengajian maupun kompolan, sang kiai tak pernah bosan untuk selalu memberikan wejangan bahwa tiada kesempurnaan bagi seseorang yang belum menyempurnakan rukun Islam dengan berhaji. Pernah ada salah satu anggota jama’ah, kebetulan seorang pelajar di sebuah madrasah aliyah di kampung tersebut, yang mangkir dari latihan manasik karena dia ikut ujian di sekolah, seketika sang kiai marah-marah: latihan manasik ini lebih penting dari sekolahmu! Seolah haji adalah ibadah paling sulit yang tidak akan sah kalau tidak ikut dan melalui latihan-latihan di KBIH.

Sementara di sisi lain, penduduk kampung ini rata-rata berada di bawah garis kemiskinan. Ada sebagian yang terbilang cukup kaya, tapi di antara mereka tidak terjalin hubungan yang berkeadilan. Kepedulian terhadap orang-orang kecil, yang barangkali sampai seumur hidupnya tidak akan akan punya kesempatan untuk berhaji, yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama, malah kurang mendapat ruang yang wajar. harta yang sudah dikumpulkan dan diniatkan untuk berhaji, tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang lain, termasuk kepentingan untuk membantu tetangga yang miskin. Menunda, apalagi menggagalkan niat berhaji adalah sebuah dosa, katanya.

Haji dan Ambisi Duniawi
Di Madura, sebagaimana yang saya tahu, salah satu tradisi para jama’ah haji sebelum kembali ke rumah nilai norma budayanya masing-masing: mereka mengganti nama. Hal tersebut seandainya memungkinkan akan dilanjutkan dengan ganti KTP dan Kartu Keluarga, kalau perlu Akta Kelahiran. Jangan panggil Sukimin lagi, tapi H. Khairul Basyar. Atau minimal pak, om, kek, mbah Haji, sebagai sebutan kehormatan. Kopyah hitam berubah putih, plus surban melilit di leher. Bahkan cara berjalan juga ikut berubah, keramahan pada tetangga sedikit ditekan. Langkah lebih percaya diri.

Kita bukan tidak tahu, atau barang kali banyak yang lupa, bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, juga para sahabat Rasulullah yang lain tidak pernah menambah huruf “H” di depan namanya setelah mereka naik haji. Mereka hati-hati: jangan sampai riya’ bin sum’ah, nanti kemabruran hajinya batal. Atimmul hajja wal ‘umrota lillah! Ah, soal itu kan urusan hati, tidak ada kaitannya dengan memakai peci putih dan panggilan pak haji. Ini Madura lho, punya tradisi dan kebudayaan yang berbeda. Memang iya, tapi kalau hajimu itu hanya sekedar rekreasi untuk meraih gengsi lebih tinggi, orang-orang di sekitarmu akan mengolok-olok kamu dengan sebutan “jitasbani”: e attas ajji, e baba banni. Sebuah sebutan untuk haji mardud, haji yang ditolak.

Naik haji itu wajib dalam hukum Islam. Adalah benar orang yang berjuang keras untuk bisa menunaikannya. Namun persolannya, di tengah kemelut kemiskinan masyarakat kita: layakkah kita berhaji dengan mengesampingkan mereka yang miskin, dan yatim secara nasab maupun sosial? Jawabannya tergantung sejauh mana kita memahami agama terakhir ini. Berhajilah, tapi selesaikan dulu tanggung jawab sosialmu. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan dijadikan sebagai pelarian tanggung jawab kita kepada para kaum lemah. Atau sekedar manipulasi religiusitas yang pada hakikatnya justru melanggar nilai esensial haji itu sendiri.

Haji dan Kewajiban Sosial
Saya pikir Sukimin di Madura, tidak hanya satu: banyak. Mugkin ada di setiap daerah. Orang yang pikirannya sederhana: seolah dengan nekat naik haji segalanya selesai. Surga sudah di depan mata. Tinggal santai saja menunggu ajal tiba. Padahal selesai berhaji, kita dituntut kerja keras, karena kita telah menggondol sebutan “mabrur” (haji yang diterima) di sisi Allah dalam berhaji.

Kenapa haji harus mabrur? Ya, jangan pergi haji kalau tidak mau mabrur. Haji adalah puncak amal, dari serangkaian amal Islam yang dimulai dengan syahadat. Nilai kemabruran haji ditentukan oleh kualitas rangkaian ritual sebelumnya. Jangan yang penting dipanggil pak haji, sementara shalatnya hanya berhenti pada formalitas takbiratul ihram dan salam. Zakat dianggap sempurna dengan hanya menyerahkan satu gantang makanan pokok pada yang berhak. Puasa ya cukup merubah kebiasaan makan dan minum saja.

Haji sama dengan al-qashdu, maksud atau keingian, mabrur berarti al-birru, kebaikan. Melaksanakan haji berarti melaksanakan keinginan untuk menjadi baik, minimal mencari kebaikan. Salah satu indikasi kabaikan dalam bahasa al-Quran adalah mampu menafkahkah sesuatu yang kita cintai untuk kepentingan agama dan umat. Nafkahkan jabatan yang kita cintai untuk kebaikan bersama, bukan sarana meraih keuntungan sepihak.

Haji menyimpan kewajiban sosial. Tangan yang berlumuran minyak rela digunakan untuk membuang duri dan batu di jalan agar tak mengganggu orang yang lewat. Semakin giat megang cangkul ke sawah dan ke ladang. Tubuh yang kita sayangi kita nafkahkan untuk berbuat yang terbaik bagi seluruh alam, tanpa melihat perbedaan personal dan lokalitasnya.

Kalau kita berhaji sekedar ingin merubah kopyah hitam ke putih, atau mencari legalitas memakai surban, ya terserah!

Ares Tengah, 11 Februari 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar