Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Sabtu, 10 Desember 2016

Santri Abangan dan Ketidaksabaran Kita

sumber: arrahmahnews.com
Kisah ini begitu nyata: tentang seorang santri abangan (eh, santri kok abangan?), yang bernama Rofil. Ia salah seorang santri pesantren kecil di wilayah pesisir uatara (bagian timur) pulau Madura. Pada hari Jum’at, saat khatbah Jum’at sedang berlangsung, ia duduk di luar (emperan) masjid sendirian, sementara teman-temannya yang lain, bersama masyarakat sekitar, yang jumlahnya hanya berkisar 50 orang, duduk di dalam masjid dengan khyusu’ mendengarkan khatbah.

Pada waktu bersamaan, ada seorang warga sekitar, bernama Samsul, yang agak telat datang ke masjid. Melihat si Rofil yang nongkrong di luar masjid, tiba-tiba ia membentak: “Maso’ ra ka dalem. Gu-ongguna oreng yahudi be’na!”. (Masuklah ke dalam. Dasar orang Yahudi kamu!” Rofil yang merasa terusik, lantas menjawab tak kalah garang: “Pendenan engko’ oreng Yahudi, etembang be’na, Muhammadiyah!”. (Masih mendingan aku Yahudi, dari pada kamu, Muhammadiyah!). Atas jasa salah seorang teman si Rofil, sesama santri pesantren, yang kebetulan duduk dekat pintu masjid, percakapan ini terekam dan tersebar begitu cepat.

Lho kok? Itulah kesaktian si Rofil: seorang santri yang kualitas ilmunya masih abangan. Ia tidak tahu, bahkan mungkin memang sengaja tidak diberi tahu, tentang apa itu Muhammadiyah dan Yahudi. Entah dari mana ia mendapatkan irformasi bahwa Muhammadiyah lebih buruk dari orang Yahudi? Dan pandangan semacam ini tidak mutlak hanya dimiliki si Rofil. Tentu masih banyak rofil-rofil lain yang puya persepsi keliru dan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan sikap antipati yang berlebihan.

Rofil dan Kesalahan Informasi
Menurut cerita seorang teman, ia pernah mengantarkan kelompok jama’ah tabligh pada sebuah masjid kecil di sebuah kampung. Sesampainya di sana, si takmir masjid langsung bertanya: “Ini kelompok jama’ah dari Muhammadiyah atau NU?”, dengan mimik muka yang cukup serius. Dengan tenang, teman saya menjawab:

“Kalau yang ini dari komunitas NU asli, pak!”, disertai sedikit senyum “shalat subuhnya pakai qunut dan bisa tahlilan!”. Si takmir masjid manggut-manggut mendengar keterangan teman saya, kemudian dia mengizinkan sekelompok orang asing berseragam putih-putih itu berdakwah selama satu minggu di masjidnya. Teman saya cukup paham bahwa sebagian besar orang awam menganggap NU hanya sebatas qunut dan tahlil. Atau setidaknya, dua hal tersebut menjadi tanda paling nyata ke-NU-an seseorang. Padahal tidak ada kepastian hukum bahwa qunut shalat subuh (bukan nazilah), dan tahlilan memastikan seseorang sebagai bagian jama’ah NU atau Muhammadiyah.

Di perkampungan dan dusun-dusun, orang-orang pikirannya hanya sederhana: Muhammadiyah adalah musuh NU. Dan dalam hal ini, tentulah NU yang paling dianggap benar dan punya legitimasi dan otoritas penuh terhadap keagaamaan orang-orang kebanyakan. Apa yang difatwakan oleh NU, maka itulah yang paling benar. Sehingga sampai mucul sebuah rumor: agama orang-orang Madura adalah NU, bukan Islam. Muatan rumor ini benar, tapi kurang baik, dan saya sepakat dengannya. Islam versi NU, bukan Islam versi yang lain, yang bertolak belakang dengan kenyataan sosial orang-orang Madura. Islam historis, bukan hanya Islam normatif.

Sisi kurang baiknya adalah ketika rumor tersebut menjadi bahan komunikasi masyarakat dalam berbagai interaksi sosial sehari-hari, ataupun dalam waktu-waktu tertentu. Ada efek tersembunyi yang bisa menimbulkan fanatisme berlebihan, terutama bagi masyarakat awam (abangan). Semacam bias pemahaman yang memungkinkan lahirnya taklid buta: kalau NU sudah pasti benar, di luar itu pasti salah.

Informasi merupakan awal mula dari munculnya aksi dan reaksi. Informasi yang baik, akan menimbulkan aksi dan reaksi yang baik pula, meskipun bukan sebuah keniscayaan. Namun setidaknya, informasi yang baik, terutama ketika melakukan komunikasi dengan orang-orang kebanyakan (awam/abangan), adalah syarat utama untuk mendapatkan aksi dan reaksi yang sama. Kalau seorang Rofil, yang hidup di kawasan pesantren, bisa salah paham soal Muhammadiyah karena informasi yang keliru, bagaimana dengan orang-orang awam di luar sana? Mereka akan sangat mudah diperdaya dan dimanfaatkan untuk bersikap ekslusif dan ekstrim terhadap golongan di luar mereka. Mereka akan beranggapan bahwa semua hal yang berbeda adalah salah, sesat dan harus dimusuhi. Aksi 411 yang melibatkan ribuan orang-orang awam dari berbagai daerah, termasuk di Madura, adalah berawal dari informasi yang salah soal Ahok dan al-Maidah 51.

Kebanyakan masyarakat perkampungan, pesisiran dan pedalaman yang tinggal di daerah-daerah terpencil memiliki kesetiaan yang luar biasa terhadap NU, terhadap kiai-kiai mereka, pesantren dan ajaran-ajarannya. Kesetiaan ini bisa saja melebihi kesetiaan panutannya sendiri terhadap NU yang kadang masih bisa dibeli dengan uang atau jabatan. Dengan demikian, tugas kita untuk mengajarkan kepada mereka hal-hal kebaikan yang penuh dengan kedamaian. Mereka jarang bertengkar, tapi kita yang membuat mereka kadang bertengkar, dengan menyusupkan beberapa informasi yang salah tentang perbedaan, terutama yang menyangkut madzhab, aliran dan paham keagamaan. Jangan sampai mereka seperti Rofil: akibat kesalahan informasi yang ia terima, pikiran dan hatinya jadi tertutup melihat kebenaran yang semestinya.

Samsul dan Gejala Ketidaksabaran
Hidup di zaman sekarang, kita tidak hanya dikepung oleh makanan-makanan instan, tetapi juga oleh pikiran-pikiran yang serba instan. Ketergesaan dan semakin hilangnya sifat kesabaran membuat cara bertindak dan sikap sosial seseorang di luar kewajaran. Kearifan yang seharusnya menjadi dasar setiap tindakan, kini semakin menjauh dari harapan. Itupun sering terjadi pada diri kita sendiri: orang Islam yang katanya membawa misi rahmatan lil’alamien.

Apa yang dilakukan oleh Samsul terhadap Rofil adalah bukti autentik hilangnya kesabaran dari seseorang, di satu sisi. Sementara sisi yang lain, adalah wujud kesalahan logika yang sangat kentara: mengaitkan sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya. Apakah orang yang nongkrong di luar masjid sendirian saat khatbah sedang berlangsung adalah perilaku orang-orang Muhammadiyah? Terus orang yang terlambat datang shalat jum’atan ke masjid adalah kebiasaan orang-orang NU? Jawabannya seperti matahari di siang bolong.

Seandainya Samsul lebih bersabar dan mengajak Rofil masuk masjid bersama-sama dengan penuh kearifan dan kelembutan, mungkin kejadiannya akan lain. Tak perlu ada pertengkaran kecil dan bersitegang saling menuduh dan mencari pembenaran masing-masing. Kesabaran selalu membuat orang punya waktu untuk berpikir jernih dan menenangkan hati. Kebenaran akan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk selalu bersikaf arif, penuh kelembutan, dan sudah pasti kritis.

Gejala ketidaksabaran, terutama saat bersua dengan perbedaan-perbedaan dan sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan, sudah menjadi kebiasaan keseharian yang sulit dikendalikan. Seolah lebih puas dan merasa paling banyak mendapat pahala ketika rasa marah lebih didahulukan dari sikap ramah. Barangkali sebagian kita beranggapan bahwa iman kita lemah kalau tidak secara keras (dengan dilandasi emosi dan caci maki) merespon kesalahan yang terpampang di hadapan. Kalau begini caranya: saya angkat tangan dan lebih memilih jalan yang lain.

Ares Tengah, 10 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar