sumber: nusantaran.com |
Aksi damai
yang melibatkan ribuan umat Islam baru saja selesai: kalau itu tidak ada lagi
aksi susulan. Hiruk pikuk di sekitar aksi masih saja terus terngiang. Ribuan
orang hanya mengahadapi satu orang: Ahok versus (sebagian) umat Islam. Kasusnya
sebenarnya cukup sederhana: penistaan agama. Tuntutannya lebih sederhana lagi:
adili Ahok, atau tepatnya penjarakan dia.
Kasus kecil
yang ditiup oleh angin sentimen keagamaan akan dengan cepat menyebar dan
menjadi besar. Agama kok dihina, al-Quran kok dianggap kebohongan, Tuhan kok
disepelekan dan seterusnya. Sentimen ini sampai menyeruak masuk ke
pelosok-pelosok desa; maka orang-orang awampun yang tidak tahu pasti duduk
persoalannya ikut juga terpancing; berebutan datang ke Jakarta! Ada banyak
selebaran yang disebarkan dan dibacakan di masjid-masjid, sebelum atau sesudah
shalat Jum’atan, atau pada acara-acara pertemuan dan kompolan, dalam
tradisi orang Madura.
Di tengah
kerumunan umat pada aksi 411 dan 212, saya hanya tercengang: umat yang
mayoritas, betapa sangat minoritas. Menang jumlah tapi kalah kuasa: ada
kekuatan raksasa di balik seorang Ahok. Suatu konspirasi rahasia yang sudah
terancang rapi dalam agenda kapitalisme global. Ahok bukan hanya Ahok: ada
kepentingan yang bermain di luar tubuh Ahok. Ia hanya pelaksana: semacam
petugas lapangan kata Cak Nun. Panitia pekerja kebijakan yang dipesan dari
luar.
Pasalnya,
mayoritas di negeri sendiri ternyata bukan syarat yang cukup untuk
berdemokrasi. Apalagi demokrasi yang berasaskan uang dan kebodohan. Catatan
sejarah di masa silam menunjukkan banyak kemenangan golongan (Islam) yang
minoritas terhadap golongan yang mayoritas. Sekarang menjadi terbalik.
Sebagaimana pesan Nabi; suatu hari umat Islam seperti sebuah hidangan di atas
meja makan: dikerumuni oleh tangan-tangan kekuasaan. Jumlah mereka banyak, tapi
tidak bisa mengelak. Seseorang bertanya: apa yang menyebabkan semua itu Nabi?
Orang yang paling suci dan lembut hatinya itu menjawab: kecintaan yang luar
biasa terhadap dunia dan ketakutan yang berlebihan terhadap kematian.
Demokrasi kita
ini hanyalah demokrasi dari rakyat, itupun harus ditopang dan diumpan dengan
uang jajan. Dan yang pasti, bukan untuk rakyat. Kalau tertalu ekstrim: sebagian
besar bukan untuk rakyat!.Kalau cangkul saja ngimpor ke Tiongkok, tenaga kerja
kasar juga ngimpor, pasar tembakau dihancurkan, garam dibiarkan, terus rakyak
mau ngapain: pasar mereka sudah diberebut oleh pihak asing. Mereka lalu
cukup dihibur dengan kartu mainan, seperti anak kecil yang sudah senang dengan
hanya dibelikan manisan.
Agama dan
Kebodohan-kebodohan
Kealiman dalam
beragama hanya ditandai dengan dua hal: ilmu yang banyak dan rasa takut kepada
Tuhan. Lalu lahirlah apa yang disebut-sebut oleh kita sebagai ulama, ilmuan, kiai,
utadz dan sejenisnya. Ilmu yang banyak ini bisa diditeksi dari cara berpikir,
sudut pandang yang luas, ketajaman analisis, keahlian mengatasi masalah, dan lain
hal yang terkait. Sementara rasa takut kepada Allah biasanya ditengarai dari
sikap keseharian dan kehati-hatian dalam bertindak, akhlak yang baik dan
ketekunan dalam menjaga kebenaran dan kesabaran. Dan bisa terus ditambahkan
opsi-opsi yang lain.
Nabi juga
memeberikan satu statement bahwa kecerdasan adalah kemampuan
mengendalikan diri dan melakukan sesuatu untuk kepentingan pasca kematian.
Kemampuan mengendalikan emosi hari ini, sebagimana terlihat dari beragam
peristiwa yang terjadi, sudah memasuki kategori yang langka. Kita terbiasa
terburu-buru dan tergesa-gesa dalam menyelesaikan persoalan. Akibatnya: sudut
pandang jadi sempit, daya kritis hilang, kehati-hatian tak diperhitungkan,
kesabaran dihilangkan: yang penting tuntutan segera dikabulkan. Allahu akbar:
dan kita sudah erasa senang.
Cara instan
seperti ini jelas bertentangan dengan semangat Al-Quran: kitab suci yang justru
sedang dibela. Allah menciptakan alam dunia melalui sebuah proses, sebagaimana
manusia juga diciptakan melalui satu rangkaian hukum yang teratur dan sistemik.
Hidup juga berupa anyaman dari benang-benang perjalanan horizontal dan vertikal
yang berkesinambungan dan prosedural. Kun fayakun hanya dalam kuasa
Tuhan. Dan kita sebagai hambanya harus meneliti sebab-sebab (hukum alam) secara
keseluruhan dengan penuh kesabaran dan kecerdasan.
Sesuai
perspektif di atas, kebodohan tak bisa ditoleransi; ia adalah sebuah dosa dan
musuh bersama. Kebodohan hanya melahirkan ketergesaan dan itu adalah perbuatan
setan. Kebodohan adalah akar masalah yang harus segera dituntaskan. Sayyidina
Ali melarang keterlibatan orang-orang yang bodoh dalam membela agama. Ibnu
Ruysd mengingatkan bahwa orang-orang bodoh akan dengan mudah diperdaya dengan
kebatilan yang dibungkus agama. Gus Mus berkata yang kira-kira maksudnya
begini: orang yang suka berdalil (butuh dalil) adalah orang yang masih bodoh dalam
beragama (belum malakah).
Terkait kasus
Ahok, ada banyak dalil yang berseleweran: dalil yang mendukung dan yang
menentang. Kesalahan lain adalah menjadikan Ahok dengan kasus penistaan
agamanya sebagai fokus tuntutan: padahal masih ada kesalahan Ahok yang lebih
parah dan merugikan umat Islam. Membela kemanusiaan adalah kewajiban lebih
asasi dari sekedar membela agama. Al-Quran tetaplah al-Quran: kitab suci yang
sudah dijaga oleh Allah sendiri. Membela al-Quran tanpa membela kemanusiaan
adalah sebuah kebodohan yang kentara: apakah kalian pikir Tuhan sudah tidak
sanggup menjaga firmanNya sehingga kalian harus turun tangan untuk ikut
membelanya?
Bahaya yang
Mengancam
Tuhan
memberikan isyarat dengan terpelesetnya lidah Ahok: melalui pintu itu, kita
akan masuk ke dalam satu ruangan gelap persekongkolan orang-orang asing yang
hendak menghancurkan Islam dan Indonesia secara bersamaan. Tapi sayang, kita
hanya berdiri di luar pintu dan sesekali melongok ke dalam tanpa ada upaya yang
jelas untuk masuk. Ahok sebagai sebuah pribadi memang seorang diri, tapi
sebagai sebuah metamorfosis kepentingan-kepentingan, dia punya banyak teman dan
relasi-relasi.
Ahok tidak
diadili tidak masalah, kita maafkan saja dan justru berterima kasih: yang
penting umat Islam di Betawi dan sekitarnya tidak perlu memilihnya sebagai gubernur
lagi. Bukan karena telah menistakan agama, tapi Jakarta butuh pemimpin yang
lebih dari sekedar seorang teknokrat! Bukan hanya sekedar keahlian menata kota,
tapi juga kesanggupan menjaga Jakarta sebagai ibu kota yang mandiri: selamat
dari kepentingan asing! Berawal dari Jakarta, pengusaha asing membangun tambak
di kampung saya. Puluhan hektar tanah dikuasai. Lahan pertanian dan perkebunan
disulap jadi industri. Pantai tercemar dan banyak ikan yang mati.
Kapitalisme
global adalah ancaman kemanusian yang paling besar abad ini. Inilah yang
seharusnya menjadi tuntutan kita, dengan Ahok sebagai salah satu lakonnya, kita
pasang kamera untuk menyorot semua kru yang terlibat, termasuk sutradara dan
perancang skenarionya. Ibarat Ahok sedang terlibat dalam permainan film forno,
kalau yang kita tuntut hanya Ahok sebagai pemain, dan kita melupakan industri
yang membuatnya, maka seharunya kita malu meneriakkan Allahu Akbar: Tuhan Yang
Maha Besar hanya dipakai untuk menuntut hal-hal yang kecil. Kontradiktif! Tak
perlu menggelar shalat di jalan! Cukup di rumah dan mengkhatamkan al-Quran!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar