Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Sabtu, 07 Januari 2017

Orang Kampung Mencari Pesantren

sumber: rembang.org
Suatu malam, saya dengan seorang sahabat, yang kebetulan sebagai seorang ustadz di sebuah pesantren, ngobrol santai di pinggir jalan tanpa nama. Dia lulusan sebuah pesantren salaf, mulai dari Madura sampai hijrah ke tanah Jawa, sahabat saya tetap sama: menekuni pendidikan kitab klasik di pesantren salaf. Saat kami lagi asyik ngobrol, seketika ada seorang setengah baya, seorang haji, tokoh masyarakat di kampungnya, memanggil salam lalu bergabung bersama kami.

“Saya mau bertanya ustadz!” Tentunya ia bertanya pada sahabat saya. “Saya mau memondokkan anak saya ke pesantren tempat sampean belajar di Jawa. Tapi, apakah di sana juga mengeluarkan ijazah?”, dengan mimik muka benar-benar serius.

“Ya, juga mengeluarkan ijazah!”, sahabat saya menjawab singkat. Saya melihat ada yang lain di wajah pak haji, dengan dahi sedikit mengkerut.

“Katanya pesantren salaf, kok mengeluarkan ijazah?”, kembali ia bertanya. Kali ini dengan nada dan ekspresi yang penuh dengan keraguan dan keheranan.

“Lho, salaf itu bukan berarti tidak mengeluarkan ijazah. Ijazah di sana ijazah lokal, asli pesantren, bukan seperti ijazah di sekolah umum!”, agak panjang lebar sahabat saya menjawab.

“Tapi saya tetap tidak ingin anak saya mondok di pesantren yang mengeluarkan ijazah!”, iapun pergi. Tanpa salam lagi. Saya melihat jelas: seraut kekecewaan bergelantung di wajahnya. Sementara saya diam. Ada sesuatu yang timbul tenggelam di pikiran dan hati saya. Pesantren, salaf dan ijazah, tiga variabel yang meloncat-loncat di ruang kesadaran.

Apa yang dirisaukan oleh pak haji di atas tentang ijazah pesantren memang sangat saya maklumi. Orang dusun sepertinya masih memiliki logika yang polos dan linear. Padahal di luar sana, ada banyak hal yang mungkin tak terjangkau oleh energi pemikiran, bahkan mungkin oleh gelombang elektromagnetik imajinasinya. Pesantren yang dulu pernah ia jalani semasa muda, jelas tidak sana dengan pesantren yang akan harus dijalani oleh anaknya.

Salaf Bukan Pesantren
Dalam logika berpikir pak haji di atas, pesantren salaf dipahami sebagai sebuah pesantren yang tanpa “ijazah”. Sangat sederhana, namun juga sedikit rumit. Pesantren kok tak punya ijazah? Atau memang ada sesuatu yang lain yang tersembunyi dalam kedalaman pikiran dan hati pak haji (mungkin juga banyak orang) tentang hakikat ijazah? Apakah salaf bertolak punggung dengan ijazah sehingga menjadi aturan yang tak boleh dilangkahi oleh pesantren?

Berangkat dari keremangan jawaban pertanyaan tersebut tulisan ini dilahirkan. Bukan untuk memberikan jawaban, tapi setidaknya menghadirkan titik renung yang diperlukan untuk masa depan. Apa yang kita pahami sebagai sebuah pesantren barangkali perlu dicermati ulang, ke akar sejarahnya, yang pada dasarnya ia merupakan hasil kontruksi sebuah kebudayaan Jawa. Sebagai hasil kebudayaan, pesantren mengadopsi nilai-nilai yang beragam, meskipun warna keislaman tampak lebih dominan.

Pesantren mirip dengan mandala yang menjadi tempat mempersiapkan kader-kader kepemimpinan dalam tradisi Hindu dan Budha. Ia kemudian diadopsi oleh para wali songo, dengan terus mengalami metamorfosis dan modifikasi ke titik yang lebih kompleks sampai sekarang. Karena muncul dari budaya setempat, pesantren lebih akrab dengan masyarakat dari pada sistem pendidikan lainnya, sekolah misalnya. Antara kiai, pengurus pesantren, santri dan masyarakat sekitar membentuk ekosistem edukatif tersendiri yang sederhana, membatin dan komprehensif.

Sementara di sisi lain, salaf merupakan sebuah terma yang cukup memiliki definisi variatif. Ada yang menyebutnya sebagai ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama Islam. Ada pula yang merujuk pada sebagian ulama yang tidak menggunakan takwil dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, juga lebih mengedepankan dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) dalam menjelaskan ilmu kalam. Selanjutnya, salaf juga dipahami sebagai sesuatu yang berbeda –bahkan bertolak belakang– dengan khalaf (modern), yang dalam catatan sejarah, gerakan salafiyah ini dimotori oleh Imam Hambali dan Ibnu Taimiyah, muridnya, dan menemukan “kesempurnaannya” di tangan Muhammad Abdul Wahab (tokoh pendiri madzhab Wahhabi yang pemikirannya cukup berpengaruh terhadap beberapa gerakan Islam di Indonesia).

Lalu apa kaitannya dengan pesantren? Pesantren jelas tidak memiliki hubungan yang sedarah dengan salaf ataupun khalaf. Kedua terma tersebut lebih masuk pada persoalan epistimologis, warna pemikiran, konsep nilai yang menjadi pilihan bebas setiap orang yang berkemungkinan melakukannya. Namun demikian, sebutan pesantren salaf dan modern begitu semarak dalam masyarakat, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Pesantren salaf lebih menekankan pada pembelajaran kitab-kitab klasik (turats) tanpa sistem klasikal, sementara pesantren modern lebih mengarah pada sistem belajar yang lebih terbuka, sistematis dan biasanya berbasis teknologi. Walaupun kenyataan kadang lebih kuat dari pada konsep dan ideologi yang digempar-gemporkan.

Ijazah Pesantren dan Kebohongan Angka
Tak ada pesantren yang tidak memiliki (baca: mengeluarkan) ijazah bagi para santrinya. Akan tetapi, tata nilai yang dipakai dalam mengeluarkan sebuah ijazah itu yang berbeda dengan, sebut saja misalnya, sekolah. Di pesantren, seorang kiai biasanya sudah mengerti betul santri-satrinya yang sudah dianggap lulus dan berhak melakukan dakwah di masyarakat. Pengetahun sang kiai yang seperti ini merupakan ijazah awal bagi seorang santri, yang ditandai dengan restu kiai, bahkan perintah langsung untuk pulang dan melanjutkan tugas kanjeng Nabi dalam membangun umat.

Ijazah sama artinya dengan syahadah, kesaksian. Para santri alumni pesantren, seain dari kiai, mendapatkan ijazah atau kesaksian langsung dari masyarakatnya. Masyarakat memiliki otoritas langsung dalam menentukan siapa di antara insan pesantren yang lulus dari beragam ujian kehidupan dan layak mendapat predikat “orang shaleh”. Ijazah itu tidak berupa angka-angka dalam kertas, tapi pengakuan masyarakat setelah melihat langsung “nilai manfaat” yang dimiliki para santri.

Tidak heran bila dalam sistem manajerial pendidikan pesantren, bekerja merupakan bagian dari proses pembelajaran para santri. Mereka tidak hanya mencari ilmu, tetapi membantu segala pekerjaan sang kiai. Mengurus pertaniannya, peternakan, perkebunan, perawatan rumah, dan segala pekerjaan lain yang dimiliki sang kiai beserta keluarga. Sehingga antara ilmu dan amal (kerja) menjadi satu paket nilai yang tertanam dalam jiwa santri, tidak terpisah sebagaimana ini dapat secara gamblang dilihat dalam sistem formal pendidikan sekolah kebanyakan.

Apa yang diinginkan pak haji yang sedang risau dalam memilih pesantren untuk anaknya sebenarnya bukan ijazah formal: sebuah pengakuan di atas kertas yang diwakili angka-angka. Tetapi ijazah sejati yang langsung diberikan masyarakat berupa sebutan “orang shaleh”. Hal ini wajar, sebab sekolah selama ini mengejar target angka tertinggi untuk peserta didiknya, dengan mengesampingkan sesuatu yang lebih penting. Para siswa dipaksa untuk terus belajar dalam menghadapi ujian sekolah, bukan untuk menghadapi “ujian sosial” yang justru berlangsung sepanjang hayat. Ah, jangan-jangan semakin tinggi angka itu dalam ijazah, semakin tinggi pula tingkat kebohongannya?.


Peara, Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar