Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Kamis, 01 Desember 2016

Mendaur Ulang Filsafat Pendidikan Paulo Freire: Sebuah Catatan Singkat

Pendidikan adalah sesuatu yang tidak sama dengan pendidikan yang diterima di sekolah (Postman, 2002). Pendidikan ibarat udara yang hampir tidak memiliki bentuk yang pasti, tergantung pada ruang yang ditempati. Namun demikian, ideologi pendidikan yang begitu beragam tidak bisa secara serta merta dilaksanakan di mana saja, sebelum mengkritisinya lebih lanjut dan menemukan formulasinya yang lebih tepat dan terarah, sesuai ruang dan waktu.

Paulo Freire, salah satu tokoh pendidikan yang memperkenalkan ideologi pendidikan kritis belakangan ini sangat digemari dan digandrungi oleh beberapa tokoh, termasuk di negara kita. Persoalannya, apakah pendidikan kritis versi Freire adalah benar-benar sebagai pendidikan alternatif yang paling tepat? Bukankah ia juga merekonstruksi pemikirannya dari tokoh-tokoh sebelumnya? Inilah sebuah catatan kecil yang ingin saya sampaikan :
 
Dunia yang Tampak
Sebagaimana diketahui secara umum bahwa filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata (realitas material). Dunia dalam pandangan Freire merupakan sarang penindasan yang terjadi melalui struktur kelas. Pendidikan diarahkan pada upaya ktiris dalam menyingkap situasi penindasan yang terselubung dan sistem ketidakadilan kelas. Dalam hal ini, kritisisme hanya berhenti pada dual hal tersebut, yang keduanya merupakan fenomena material, sebagaimana ini juga terlihat dalam sejarah pemikiran dan perjuangan kaum marxis.

Padahal, seharusnya pendidikan bisa merambah pada ranah yang lebih jauh, immaterial-transendental, dengan menciptkan ruang kritis (baca: kecerdasan) yang mampu menembus batas-batas budaya kemanusiaan yang profan. Sebab ukuran kecerdasan, menurut falsafah nabi, adalah kesanggupan untuk selalu ingat kematian dan pengendalian diri. Benar, segala bentuk penindasan dan ketidakadilan kelas harus diselesaikan, akan tetapi bukan sebagai syarat pemenuhan kesejahteraan kolektif, melainkan tugas kekhalifahan yang implikasi panjangnya dapat ditemukan di akhirat, pasca kematian.

Berpikir Bertindak; Juga Berdzikir
Paulo Freire mengemas pendidikan kaum tertindasnya dalam konsep aksi dan refleksi. Pendidikan yang hanya berputar-putar pada siklus berpikir dan bertindak secara terus menerus dan berkesinambungan dalam sebuah lingkaran kesadaran yang tak berujung. Model metodologi pendidikan seperti ini oleh Paulo Freire disebut sebagai metode pendidikan hadap masalah (problem posing education).

Model pendidikan tersebut tidak melibatkan “berdzikir” sebagai sebuah hal yang harus terjadi dalam diri peserta didik. Padahal, ruang mental manusia yang manusiawi, tidak bisa dipisahakan dari kemampuannya dalam berdzikir yang berjalan seimbang dengan potensi berpikir dan beramal (bertindak). Berpikir adalah usaha dalam menemukan ilmu, sedangkan berdzikir adalah upaya mendapatkan nilai. Ilmu dan nilai adalah dua hal yang seharusnya mendorong dan melatarbelakangi setiap tindakan (amal). Ilmu menuntun orang betindak secara profesional dan tidak kontradiktif, tapi nilai memberikan ruang bertindak yang lebih bermanfaat dan memantulkan kelembutan bagi diri, sesama dan lingkungan.


Guru yang Murid, Murid yang Guru
Murid bukan sebuah bejana kosong yang harus terus diisi oleh berbagai informasi pengetahuan, tentunya oleh guru. Relasi guru-murid yang menempatkan murid sebagai objek yang pasif, dalam pandangan Paulo Freire, adalah bagian dari dehumanisasi yang hanya akan melahirkan manusia (meminjam istilah Erich From) berwatak “nekrofili”, bukan “biofili”, yang hanya jadi pengagum status quo dan penerus penindasan.

Guru tidak selalu guru dan murid bukan senantiasa murid. Guru dan murid adalah sama-sama subjek, saling bermitra, belajar dan sejajar, dalam memahami realitas hidup sebagai objek pendidikan bersama. Implikasinya: murid bisa saja lebih tahu dari guru, sehingga guru juga perlu belajar sama murid. Guru bisa menjadi murid, murid bisa menjadi guru.

Selanjutnya sudah bisa ditebak: guru tidak boleh (merasa) menjadi guru, tetapi harus bersikap sebagai sahabat/mitra. Sebab idiom “guru” tidak steril dari aroma penindasan, apalagi ketika guru harus benar-benar diproyeksikan sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Disinilah problematikanya: apakah murid juga harus bersikap sebagai sahabat bagi gurunya?

Nabi memang memperlakukan murid-muridnya sebagai sahabat, tetapi para murid tetap memperlakukan nabi sebagai Nabi. Cara terbaik seorang guru ketika bersama muridnya adalah dengan menjadikannya sahabat, dan cara terbaik seorang murid ketika bersama gurunya dengan tetap menjadikannya sebagai guru. Ini tidak mereduksi posisi kedua-duanya (guru-murid) sebagai subjek yang sejajar, seperti yang diinginkan Paulo Freire, hanya sebagai paradigma dan etika bersikap yang memang tidak mungkin harus disamakan. Yang terjadi hari ini, bukan hanya persoalan guru yang salah dalam memperlakukan murid, tetapi juga perlakuan murid yang tidak beretika kepada gurunya.

Epilog
Selebihnya, apa yang dilakukan oleh Paulo Freire adalah sesuatu yang sangat berharga bagi pendidikan, dan telah memberikan manfaat yang tidak ternilai. Gagasannya tentang konsientisasi sebagai inti proses dan realitas diri dan dunia sebagai hakikat tujuan pendidikan, sungguh telah memiliki andil yang besar terhadap kehidupan masyarakat dan dunianya. Selain hal itu, sebagai seorang professor, ia tidak terjebak di belakang meja dan menara gading, tapi langsung turun ke lapangan menemani masyarakat kecil yang buta huruf untuk terus belajar sepanjang hayat.


Namun, setiap pemikiran adalah bayi yang baru lahir, dan kitalah yang harus merawat dan melengkapi kebutuhannya agar dapat tumbuh menjadi anak yang sehat dan bermanfaat. Memahami sebuah pemikiran adalah kesulitan tersendiri, dan merekonstruksi sebuah pemikiran adalah sebuah kesulitan yang lain, yang lebih suit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar