Di bawah sinar bulan, di sekitar
tanggal lima belas bulan purnama (malem tera’ bulan), menurut
perhitungan kalender hijriyah, atau orang Madura menyebutnya pananggalan Madura,
adalah momentum istemewa bagi masyarakat Madura yang dimanfaatkan untuk apol-kompol,
baik dengan sesama keluarga atau tetangga sekitar. Tradisi ini berlangsung di
halaman rumah (taneyan) dengan beralas tikar yang terbuat dari anyaman
daun siwalan. Para orang tua dan anak-anak berkumpul, laki–laki dan perempuan, sambil
bersenda gurau di sela-sela percakapan tentang pengalaman hidup sehari-hari.
Dengan sinar bulan yang terang,
berwarna kuning keemasan, dibantun oleh cayaha damar conglet dan damar
talpe’ sebagai pelita rumah orang Madura pedesaan sebelum listrik masuk,
para kakek/nenek dan bapak/ibu bercerita dan berdongen kepada cucu dan
anak-anak mereka. Atau para orangtua bercengkrama dengan sebayanya, sedangkan
anak-anak bermain petak umpet dan permainan lainnya di halaman. Lagu-lagu
Madura seperti pa’-kopa’ eling, ping pilu’ dan lir-saalir sering
disenandungkan oleh mereka sambil bertepuk tangan berlarian dan main
kejar-kejaran. Bila di antara anak-anak itu ada yang terjatuh, lalu orang tua
datang perlahan sambil mengucapkan mantra penyembuhan: bularak kolare
tarebung manyang, baras mare tedung nyaman.
Bukan hanya itu, tradisi apol-kompol
di bawah tera’ bulan, sering dijadikan sebagai media mewariskan berbagai
kearifan lokal kepada anak-anak sebagai generasi penerus kebudayaan Madura. Di
sinilah, para orang tua (sebutan orang tua ini tidak terbatas pada eppa’
dan embu’ secara nasab) mengajarkan dan anak-anak belajar tentang
nilai-nilai luhur ke-Madura-an melalui syi’iran dan pantun Madura
serta paparegan yang dilestarikan secara lisan (oral). Syi’ir Madura
biasanya lebih bernuansa agamis, berisi tentang nasehat, ajaran dan
cerita-cerita yang bersumber dari agama Islam. Pantun isinya lebih luas, bukan
hanya ajaran agama, tetapi kadang berupa sindiran dan hal-hal yang bersifat
lucu. Sementara paparegan lebih bersifat umum lagi dan tidak ada aturan
baku sebagaimana syi’ir dan pantun, bahkan kadang hanya berupa senda gurau dan
celetukan saja, seperti : pangkor koneng nyang kornyangan, oreng dapor nyang
kencangan.
Tera’ Bulan
Versus Lampu Pijar
Nuansa kearifan tera’ bulan
dalam tradisi apol-kompol masyarakat Madura sedikit mengalami perubahan
(penyusutan) di tengah gemerlap lampu pijar sebagai penerang kegelapan hari
(malam). Cahaya bulan yang sejuk tentu tidak akan mampu mengalahkan sinar lampu
pijar yang menderang, mulai dari lampu bohlam, neon, halogen dan lampu LED. Tera’
bulan jadi tertutup bukan karena terhalang awan hitam tebal, yang
dikabarkan bulan sedang tidur oleh ibu-ibu kepada anaknya ketika mereka
bertanya tentang bulan yang tidak tampak pada saat apol-kompol, tetapi
karena pandangan manusia sudah terkurung dalam pijaran lampu buatan pabrik
sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap kebiasaan hidup mereka.
Tera’ bulan
membawa nilai peradaban yang berlangsung bertahun-tahun dalam kebudayaan
Madura. Tera’ bulan adalah milik bersama, sehingga cara menikmatinya
bagi masyarakat Madura juga dengan bersama-sama keluarga dan tetangga, melalui opol-kompol
di halaman. Berbeda dengan lampu pijar, apapun jenisnya, setiap rumah
memilikinya sendiri-sendiri. Rumah yang lampunya lebih terang menunjukkan si
pemiliknya lebih sejahtera dari penghuni rumah yang lain. Terciptalah
garis-garis vertikal kebudayaan melalui “sistem penerangan”: yang kaya memakai
lampu neon, yang miskin hanya memakai lampu bohlam 5-10 watt.
Dampak akhir dari “fenomena
bid’ah” tersebut adalah mulai renggangnya ikatan batin kebersamaan masyarakat
Madura. Hari ini mungkin tidak begitu tampak, tapi lambat laun akan menjadi
benalu budaya yang akan beranak-pinak merasuk ke berbagai pandangan hidup dan
sikap mental keseharian.
Kompolan:
Sebuah Metamorfosis?
Tradisi apol-kompol dengan
segala variabelnya sudah tak terhitung lamanya menemani kehidupan orang Madura
sebagai salah satu wujud kebudayaan yang sarat nilai. Belakangan ini, apol-kompol
sebagai sebuah tradisi sudah mulai terdesak ke pinggiran bersamaan dengan
semakin sibuknya masyarakat Madura dalam meladeni kapitalisme global.
Nilai-nilai baru berupa individualisme, liberalisme dan hedonisme semakin
mengebiri masyarakat dari ranah kultur lokalnya, meskipun tidak secara merata
dan kentara. Tradisi apol-kompol memerlukan modifikasi baru untuk tetap
eksis dan menjadi cara dalam menyikapi berbagai pengaruh kebudayaan asing yang tersebar
dalam berbagai wajah kolonialisme global. Maka lahirlah tradisi kompolan
dalam lingkungan budaya masyarakat Madura yang sedikit lebih muda usianya dari
tardisi apol-kompol, sebagai bentuk tafsir baru dan sekaligus
pengejawantahan dari falsafah belajar orang Madura: sek-esek berras pote.
Meskipun bukan di bawah sinar
bulan, tradisi apol-kompol telah menjadi roh yang menghidupi tradisi kompolan
orang Madura. Memang terdapat sedikit nuansa perbedaan antara opol-kompol
dengan kompolan, sebagaimana dijelaskan oleh K. A. Dardiri Zubairi, saat
ditemui di kediamannya, di kompleks Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin
Gapura Sumenep menerangkan bahwa “tradisi kompolan sudah sedikit terlembagakan,
dengan adanya orang yang “dituakan” sebagai ketua atau koordinator dan waktu
pertemuan yang sudah ditentukan (seperti setiap malam rabu).” Sedangkan tradisi
apol-kompol berlangung secara alamiah, tanpa ada waktu berkumpul yang
jelas, bergantung pada tera’na bulan dan tidak ada yang memimpin.
Namun demikian, baik apol-kompol
maupun kompolan adalah dua tradisi yang tumbuh dari akar kebudayaan masyarakat
Madura yang berbasis keagamaan (keislaman). Hal ini sejalan dengan pernyataan K.
A. Dardiri Zubairi, seorang kiai muda yang aktif di NU Cabang Sumenep, bahwa “tradisi
kompolan di Madura, pada awalnya dimotori oleh para santri, sehingga
lahirlah berbagai kompolan yang bersifat keagamaan seperti kompolan
tahlilan, yasinan dan shalawatan. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri
belakangan muncul kompolan di luar motif agama, seperti kompolan manu’
(burung).”
Menilik hal tersebut, keberadaan kompolan
sebagai metamorfosis dari tradisi apol-kompol orang Madura selalu
berkonotasi positif (sekali lagi: pada awalnya), karena dikomandani oleh para
santri, baik santri langgar atau santri pesantren, dengan motivasi keislaman
yang kuat, lebih-lebih Sumenep yang menjadi basis kebudayaan santri di Madura. Sebagai
bentuk aksi nyata kepeduliannya terhadap budaya Madura, kiai muda penulis buku
“Rahasia Perempuan Madura” ini, telah menggagas dan mendirikan, dengan dibantu
oleh sahabat-sahabat beliau, kompolan tera’ bulan sebagai media untuk
belajar bersama dan jalan kembali kepada akar budaya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar