Setiap masyarakat Madura yang terpecah dalam empat kabupaten memiliki tradisi bertutur yang berbeda satu sama lain, baik dari sisi tingkatan bahasa yang digunakan, cara pengucapan, sampai pada etika bertuturnya. Hal ini menunjukkan betapa Madura kaya dengan “tata bahasa” sebagai bagian dari sistem kebudayaan. Semua perbedaan tersebut terjadi dalam wilayah horizontal yang meletakkan ketidaksamaan masyarakat pada satu garis yang sejajar. Karena pada hakikatnya, bahasa merujuk pada apa yang menjadi kesepakatan masyarakat setempat,bukan justifikasi masyarakat lain, yang pasti akan berbeda-beda.
Bahasa adalah icon kehidupan masyarakat, yang tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi, tetapi sebagai tanda pengenal karakteristik masyarakat itu sendiri. Melalui bahasa, sebuah komunitas akan dapat dipahami dan dinilai seperti apa wujud pandangan hidup, etika sosial dan karakteristik budayanya. Tradisi bertutur (berbahasa) masyarakat pesisir tidak sama dengan masyarakat pedalaman, di mana masyarakat persisir tampak lebih lantang dalam bertutur dari pada masyarakat pedalaman. Begitu halnya dengan kebiasaan kaum santri yang dinilai lebih halus dalam bertutur dari pada kelompok masyarakat awam (abangan).
Sumenep dan Bahasa Madura
Berdasarkan sejumlah asumsi yang berkembang bahwa Sumenep merupakan kiblat kebudayaan Madura, terutama pada masa-masa silam. Salah satunya, asumsi tersebut didasarkan pada kenyataan sejarah berdirinya keraton atau kerajaan di sumenep, yang tidak ditemukan dalam kabupaten lain di Madura. Keberadaan kraton ini sangat memberikan pengaruh terhadap perkembagan bahasa Madura, terutama bahasa Madura tingkat tinggi (bahasa halus) sesuai dengan tradisi bertutur di lingkungan keraton.
Sementara di sisi lain, para abdi keraton, tentunya mereka punya keluarga yang tinggal di luar kompleks keraton. Sudah barang tentu, sebagai abdi keraton mereka akan senantiasa menggunakan bahasa Madura yang halus bersama keluarga dalam satuan rumah tangganya masing-masing. Rumah tangga abdi keraton ini tidak berdiri sendiri, tapi berada bersama rumah-rumah yang lain, yang tidak memiliki garis struktur dengan lingkungan keraton. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, tentu di antara mereka akan tercipta komunikasi ataupun hubungan-hubungan sosial tertentu, sehingga tersebarlah tradisi bertutur dari keraton pada daerah-daerah lain di sekitarnya, sampai pada pelosok pedalaman. Ini hanya satu jalur analisis, yang memungkinkan Sumenep secara logis dan rasional punya nilai lebih dari sisi kebahasaan (Madura) dengan masyarakat Madura yang tinggal di wilayah lain.
Selain kraton (atau ini justru dampak lanjutan dari tradisi kraton), Sumenep bisa dijadikan standart baku penulisan bahasa Madura. Sebagaimana diungkapkan oleh Hidayat Raharja, budayawan Madura asal Sampang, bahwa “bahasa Madura yang berkembang di Sumenep, sama antara pengucapan dan penulisannya, sehingga bisa dijadikan acuan perumusan kaidah bahasa Madura”. Selanjutnya beliau mencontohkan, seperti “be’na entara ka pasar?”. Di Sumenep, dibaca sesuai dengan apa yang ditulis, sementara di Sampang misalnya, kata “be’na” dibaca menjadi “be’en”. Persoalan selanjutnya, realitas ini harus direspon lebih serius oleh para pemangku kebijakan untuk menjadikan bahasa Madura sebagai mata pelajaran wajib dalam berbagai jenjang pendidikan sekolah, dengan kurikulum dan buku ajar yang jelas, sebagai bagian dari implikasi otonomi daerah.
Hampir luput dari perhatian banyak peneliti (asing seputar) Madura tentang eksistensi kiai dan pesantren sebagai pelestari bahasa Madura, dari berbagai tingkatan (ondegga basa), mulai dari yang kasar (sengko’-bea’na), sampai yang paling halus (abdhina-panjhennengan). Tentu tidak semua kiai, tidak semua pesantren, bersama munculnya pesantren-pesantren modern yang mewajibkan santrinya berbahasa asing dan bahasa Indonesia. Sedangkan di luar itu, masih banyak pesantren besar dan kecil yang masih tetap setia menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa resmi pesantren, baik dalam percakapan sehari-hari, maupun dalam kegiatan belajar mengajar.
Dalam percakapan dengan teman sejawat atau teman akrab, para santri bisanya menggunakan bahasa kasar (mapas), berupa sengko’-ba’na dan bula-tika. Percakapan dengan teman yang lebih tua atau dengan para ustadz, bahasa Madura yang dipakai biasanya tingkatan menengah, yaitu kaula-sampean. Sedangkan tingkatan bahasa Madura halus (abdhina-panjhennengan), biasa digunakan saat berkomunikasi dengan kiai dan seluruh keluarga besarnya.
Di lain sisi, bahasa Madura di pesantren juga dipakai saat pembelajaran, utamanya saat mengartikan kitab-kitab turats (biasa disebut kitab kuning atau kitab gundul), yang mencakup semua tingkatannya. Apabila yang diartikan adalah berupa perkatan Allah kepada hambaNya atau nabi Muhammad kepada ummatnya, biasanya diartikan menggunakan bahasa Madura tingkatan kasar. jika berupa doa dari seorang hamba kepada Tuhannya, atau sanjungan seorang ummat kepada nabinya, maka diartikan dengan bahasa Madura yang halus. Sementara, lafadz-lafadz yang berupa penjelasan kiai mushannif (sang pengarang kitab) secara naratif, biasanya diartikan dengan bahasa Madura tingkatan menengah.
Bukan hanya pesantren secara kelembagaan, keberadaan kiai secara individual memiliki sumbangsih besar terhadap kelestarian bahasa Madura, terutama pada tingkatan halusnya (basa alos). Kiai tidak hanya terpusat pada aktivitas pesantren, apalagi memang tidak semua kiai harus mendirikan pesantren. Banyak kiai-kiai, utamanya yang berdomisili di pedesaan, mengadakan kompolan rutin dengan masyarakat, di samping secara insidental diundang untuk memimpin upacara salametan dan mengisi acara pengajian. Biasanya, masyarakat yang menemani sang kiai bercakap-cakap dengan menggunakan basa alos, sebab apabila menggunakan pitutur bahasa kasar dianggap tidak menghormati atau cangkolan.
Tantangan Selanjutnya
Apa yang dilakukan kiai dan pesantren masih belum cukup dijadikan sebagai benteng pertahanan bahasa Madura, yang belakangan ini mendapat tekanan dari berbagai arah dan mulai sedikit terpinggirkan. Tantangan terbesar, seperti yang disinyalir oleh Hidayat Raharja, adalah “merebaknya teknologi informatika seperti hand phone (HP), di mana bahasa yang digunakan ketika mengirim sms biasanya bahasa Indonesia, bukan bahasa Madura, khususnya oleh kelompok remaja!”. Fenomena tersebut bersanding dengan kegiatan olahraga permainan, seperti bolavoli, sepakbola dan kasti, baik turnamen resmi atau sekedar persahabatan, meskipun para pemain dan penontonnya adalah asli orang Madura, dan lapangan yang digunakan adalah tanah Madura, tapi bahasa yang digunakan oleh komentator adalah bahasa Indonesia.
Sementara itu, “para guru yang ahli bahasa Madura rata-rata sudah berumur 60-an tanpa ada regenerasi yang jelas, dan belum ada perguruan tinggi di Madura yang berani membuka jurusan bahasa Madura,” seperti dituturkan oleh Hidayat Raharja, yang mengabdikan diri sebaga guru SMAN 1 Sumenep, menambah kesuraman masa depan bahasa Madura. Inilah yang harus dipikirkan bersama: siapa di antara kita yang punya nyali besar menjadi tonggak penyelamat bahasa Madura?
(Tulisan ini dimuat di Tabloid Mata Sumenep pada edisi 12 / 16-29 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar