Salah besar kalau kuliah hanya dipahami sebagai cara mencari ilmu. Lebih dari itu, kuliah adalah adalah mengembangkan pemikiran, meramu berbagai sumber pengetahuan, membangun sintesa-sintesa ilmiah untuk menciptakan senyawa-senyawa antara, yang meskipun salah, dalam proses menuju pembaharuan, kesalahan sangat diperlukan. Kesalahan-kesalahan dalam berproses akan semakin mempercepat sampai di tujuan: kebenaran. Mahasiswa yang takut akan kesalahan secara otomatis juga takut akan kebenaran. Salah dan benar bukan dua hal yang saling berlawanan, tapi si kembar siam yang selalu beriringan.
Kampus sebagai institusi akademik seharusnya tidak punya afiliasi dengan benar salah. Jadilah lembaga bebas nilai yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab penuh terhadap mahasiswa untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kesalahan, sesuai versinya masing. Sangat tidak wajar apabila kampus ikut menentukan prinsip kebenaran secara fanatis, tanpa sedikitpun memberikan ruang tafsir yang kritis.
Ada banyak kampus yang mengadopsi sistem partai politik: sangat kaku dan takut terhadap kebebasaan. Selalu bersembunyi dari kenyataan bahwa mahasiswa bukanlah makhluk yang terasing: mereka berhadapan dengan beragam realitas di luar kampus. Dan sangat memungkinkan terdapat sejumlah realitas yang justru lebih menarik dikaji dan dicerdasi sebagai objek belajar, dari pada materi kuliah di kampus yang formulasinya terbatas dan tergantung kompetensi seorang dosen.
Bukan Kuliah, Tapi Belajar
Mahasiswa boleh bolos kuliah, tapi tidak boleh bolos belajar. Kuliah itu sunnah, belajar itu wajib. Hanya saja, yang dimaksud belajar di sini oleh sebagian orang adalah duduk manis di kelas, di bawah asuhan dosen. Padahal belajar adalah proses yang memiliki spektrum sangat luas dan bahkan tak kasat mata, sejak lepas dari buaian sampai masuk liang lahat.
Pacaran adalah belajar, merokok adalah belajar, bertani adalah belajar, berdagang adalah belajar, shalat adalah belajar: tentu dengan konsekuensi dan tanggung jawab moral dunia akhirat. Setiap gerak diam mahasiswa seharusnya menjadi aneka warna pembelajaran yang lebih humanis, dengan tetap tidak menyimpang dari prosedur dan mekanisme umum yang sudah ditetapkan pihak berwenang. Sebab kebebasan akademik yang di dalamnya terdapat kebebasan belajar, harus dibatasi oleh tanggung jawab penuh mahasiswa, baik secara ilmiah maupun moral.
Adalah lucu dan tak masuk akal: lucunya kehadiran mahasiswa menjadi lebih penting dari belajarnya, dan tak masuk akalnya ijazah sarjana lebih menjadi target dari pada ilmu amaliahnya. Kelucuan dan ketidakmasukakalan mekanisme ini akan menjadi kemamapanan dan kejumudan apabila tidak ada upaya serius dan revolusioner dari mahasiswa. Kampus adalah dunia bongkar pasang keilmuan: mendaur ulang segala bentuk ilmu pengetahuan dengan lebih kritis dan arif.
Akhirnya Tuhan Tertawa
Fungsi utama seorang dosen adalah mencerdaskan mahasiswa, bukan membodohi mereka dengan menciptakan ketergantungan sebagai awal terbentuknya feodalisme akademik. Mencerdaskan adalah membiarkan mereka untuk cerdas, melalui usaha yang mandiri dalam belajar, dan dosen hanya menyediakan ruang-ruang motivasi untuk proses akademis yang bebas dan tak terbatas bagi mahasiswa.
Oleh karena itu, kontrak belajar dalam kasus-kasus tertentu diperlukan, tapi itu tidak penting, sekali lagi: itu tidak penting. Dosen akan tampak lebih bijaksana apabila kontrak belajar yang disodorkan bersifat fleksible dan situasional, yang masih memungkinkan mahasiswa berkreasi secara terbuka sesuai potensi dan cita-citanya. Dosen seharusnya lebih sabar, atau dalam konsepsi Karl Marx “guru (dan dosen) seharusnya juga dididik”, untuk bisa memuncratkan sperma pemikiran yang komprehensif.
Sangat menarik benci, apabila ada seorang dosen yang dengan gagah berani menempatkan dirinya sebagai sosok paling tahu, sehingga ia memperlakukan mahasiswa seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Harus tunduk patuh dengan segala sistem kontrak yang ia buat sendiri, menghafal semua kata-katanya, menjawab soal sesuai penjelasnnya, dan perpanjangan lidah kelilmuannya. Dosen yang over acting seperti ini, dalam keimanan saya, akan membuat Tuhan tertawa.
(Tulisan ini dimuat di Stia Pos, edisi 14 September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar