sumber: koranmadura.com |
Hidup itu sederhana, lurus,
seperti satu garis linear yang menuju satu titik kordinat di ruang
transendental. Manusia hidup hanya mengikuti, seharusnya begitu, gerak
pendar cahaya yang hanif, tak berbelok. Apa saja, yang kita hadapi dalam hidup,
hanyalah satuan ragam warna dalam satuan cahaya. Setiap warna hidup jelas
memiliki maknanya masing-masing: kita tinggal pilih. Inti kehidupan seseorang
terletak pada apa yang menjadi pilihannya.
Ada banyak manusia yang dibikin
repot dengan hidupnya, termasuk saya, kalian, bahkan mungkin kita semua pernah
merasakan hal itu. Padahal, Allah menciptakan hidup untuk manusia, dan semua
hambaNya yang lain dengan kemudahan-kemudahan: selama hidup sesuai anjuran
Tuhan, hidup itu akan selalu mudah, ringan. Ini janji Tuhan sendiri. Barang
siapa yang berpaling dari peringatanku, maka ia akan mendapat hidup yang
sempit. Kira-kira seperti itu firmanNya dalam salah satu ayat al-Qur’an. Mohon
maaf, saya bukan “ahli kitab”, jadi tidak terlalu fasih untuk ngutip ayat ini
itu. Yang jadi pegangan hidup saya hanyalah keyakinan. Sebab saya terlalu lemah
untuk dapat memahami sebuah kebenaran dengan ukuran logika apapun.
Konsekuensi dari kelemahan
internal saya tersebut adalah saya selalu gagal memahami hakikat hidup yang
baik dan benar. Kadang saya baik, tapi belum benar. Kadang juga benar, tapi
belum masih baik. Maka jika hal tersebut juga terdapat pada yang selain saya,
barangkali kita perlu bersama-sama untuk saling belajar dengan rendah diri
bahwa yang terbaik di antara kita adalah yang paling keras berusaha untuk
selalu baik, dan benar tentunya.
Hidup itu Amanah
Jangan lupa, kita tidak pernah
bikin proposal khusus kepada Tuhan untuk memesan hidup kita dengan segala
fasilitasnya: orang tua, tempat lahir, bentuk badan dan seterusnya. Sepakat
dengan apa yang dikatakan Cak Nun: manusia itu 0% atas semua hidupnya. Pemegang
saham seratus persen terhadap hidup kita adalah Allah. Dialah yang mencipratkan
gejala sifat hayatNya kepada kita, bukan karena kita memintanya. Orang tua
adalah sarana akselerasi hidup kita yang disediakan Allah SWT.
Kalau tidak percaya, tolong
jawab pertanyaan ini: Anda punya cermin, tentunya Anda tahu wajah Anda, kenapa
wajah Anda seperti itu? Kalau jawabannya karena faktor orang tua, kenapa orang
tua Anda juga berwajah seperti itu? Kalau jawabannya masih terus ke kakek dan
nenek Anda, ini yang namanya tasalsul: sebuah mata rantai kausalitas yang tidak
pernah selesai. Dan hal itu mustahil. Sebab semesta ini berasal dari satu pusat
yang abadi dan transendental: Allah Azza wa Jalla. Dan yang menghendaki kita
semua berwajah seperti apapun adalah mutlak kehendakNya. Termasuk masuk pula
bentuk-bentuk pada makhluk-makhluk yang lain, baik menyangkut fisik, fisiologis
dan kebiasaan-kebiasaannya.
Lalu kita perlu santai saja
untuk mengakui: hidup kita sebenarnya hak Allah, yang dipinjamkan pada kita.
Tugas kita adalah menjaga amanah hidup ini berdasarkan niat baik dan ikhtiar dalam
keluasan takdirNya. Ikhtiar adalah memilih yang terbaik dari segala yang sudah
disediakan olehNya. Baik-buruk adalah pilihan. Memilih untuk menjadi yang
terbaik di hadapanNya adalah hak dan kewajiban sekaligus.
Hidup dengan Basmalah
Kalau pelan-pelan saya bertanya:
bagaimana cara hidup yang benar? Biasanya, kita punya kecenderungan untuk
selalu mengejar apapun saja yang kita yakini dapat memberikan kebahagiaan dalam
hidup. Walaupun jelas, pemahaman dan penafsiran orang tentang kebahagiaan itu
sendiri sangat variatif. Juga cara untuk meraihnya cukup beragam, bahkan kadang
bertentangan satu sama lain.
Saya selalu ingat pesan guru
ngaji waktu kecil di kampung: kalau hidupmu ingin selamat dari segala sihir,
maka amalkanlah basmalah. Ia akan menutup sembilan lubang dalam tubuhmu dari
pengaruh yang tidak baik. Sihir adalah sebuah tipu daya, sekian tipu daya
yang paling berbahaya adalah dunia dengan segala tetek bengiknya. Maka dunia
dalam perspektif religius adalah sesuatu yang punya potensi untuk menipu. Kita
yakin, misalnya, kita bisa hidup tengan dengan rumah mewah, lalu Tuhan
memerintrahkan kepada api agar membakar rumah kita, maka kitapun merasa
kehilangan dan tenggelam dalam kesusahan. Masih banyak contoh yang lainnya.
Sihir dunia masuk ke dalam diri
kita melalui salah satu sembilan lubang dalam tubuh, sesuai jumlah bunyi kata
pada lafadz basmalah, yang semuanya mempunyai sinyal sambungan ke otak dan
hati. Maka basmalah di sini memiliki dua fungsi: fungsi mejaga pikiran dan hati
dari dalam dan menangkal segala pengaruh buruk dari luar. Pilihan kita dalam
hidup hanya satu: arahkan hidup menuju Allah SWT. karena di sana tersedia ar-Rahman
dan ar-Rahim. Kasih sayang Allah SWT. pada kita akan menjaga hidup tetap bersih
sampai akhirnya kita semua kembali kepadaNya. Kalau ada di antara kita yang
tidak percaya: coba aja!
Seorang guru yang lain, pernah
bercerita bahwa yang orang-orang Madura mengartikan bismillah (basmalah) sesuai
bunyi katanya sebagai berikut: bis = acabis, mil = pacomil, lah = ka Allah.
Kalau diterjemahkan ke bahasa yang lain, menjadi: sering-seringlah sowan
(bertamu) kepada Allah. Tuhan menjadi kebutuhan primer, bahkan melebihi segala
kebutuhan lain dalam kehidupan manusia. Ini menunjukkan kearifan tauhid yang
cukup tinggi dalam masyarakat Madura.
Hidup dengan basmalah berarti
hidup dengan menjaga diri dari pengaruh buruk dunia, yang pertama. Kebebasan dari
sihir dunia akan membuat seseorang lebih bergairah untuk terus-terusan
membangun hubungan, mendekati dan berteman dengan Allah, ini yang kedua. Dunia dan
Tuhan adalah dua hal yang menciptakan jalan yang bertolak belakang. Menuju Tuhan
berarti meninggalkan dunia, mendekati dunia berarti menjauhi Tuhan.
Orang Hidup Jangan Mati
Manusia hidup itu, aplikasinya,
mengacu pada fungsi kerja. Biasanya berupa kumpulan aktivitas yang dikemas
dalam kaleng nilai dan budaya yang tidak terhitung jenis macamnya.. Ada yang
manis dengan aktivitas duniawi saja, ada yang ke arah transendental, ada
individualis, ada sosialis, macam-macam dengan variasinya sendiri-sendiri. Saya
hanya bermaksud menyampaikan: siapapun kita, apapun baju kita, jangan sampai
bikin hidup kita mati sebelum waktunya.
Hidup
pada intinya adalah bekerja. Apapun yang dikejar-kejar dan didapat oleh manusia
adalah untuk keperluan hidupnya. Makan minum tidur tertawa ngobrol semua untuk
kelangsungan hidup. Walaupun ada di antara kita yang berbalik: hidup untuk
sekedar makan dan minum. Namun di sini saya perlu pertegas tentang kerja: ia
meliputi wilayah vertikal dan horizontal. Kita shalat puasa naik haji, itu
berarti kerja dalam wilayah vertikal. Horizontalnya: ya bantu orang, gotong
royong, bangun jembatan, menyapu halaman rumah dan seterusnya. Yang terpenting
dari semuanya adalah niat kita dalam kerja di wilayah apapun harus sebagai
ibadah: persembahan ikhlas seorang hamba terhadap Tuhan, dengan mengetahui
hakikat kelemahan diri dan keagunganNya. Wallahu a’lam bisshawab!
Peara, Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar