Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Rabu, 11 Januari 2017

Memaknai Hidup dengan Basmalah

sumber: koranmadura.com
Hidup itu sederhana, lurus, seperti satu garis linear yang menuju satu titik kordinat di ruang transendental. Manusia hidup hanya mengikuti, seharusnya begitu, gerak pendar cahaya yang hanif, tak berbelok. Apa saja, yang kita hadapi dalam hidup, hanyalah satuan ragam warna dalam satuan cahaya. Setiap warna hidup jelas memiliki maknanya masing-masing: kita tinggal pilih. Inti kehidupan seseorang terletak pada apa yang menjadi pilihannya.

Ada banyak manusia yang dibikin repot dengan hidupnya, termasuk saya, kalian, bahkan mungkin kita semua pernah merasakan hal itu. Padahal, Allah menciptakan hidup untuk manusia, dan semua hambaNya yang lain dengan kemudahan-kemudahan: selama hidup sesuai anjuran Tuhan, hidup itu akan selalu mudah, ringan. Ini janji Tuhan sendiri. Barang siapa yang berpaling dari peringatanku, maka ia akan mendapat hidup yang sempit. Kira-kira seperti itu firmanNya dalam salah satu ayat al-Qur’an. Mohon maaf, saya bukan “ahli kitab”, jadi tidak terlalu fasih untuk ngutip ayat ini itu. Yang jadi pegangan hidup saya hanyalah keyakinan. Sebab saya terlalu lemah untuk dapat memahami sebuah kebenaran dengan ukuran logika apapun.

Konsekuensi dari kelemahan internal saya tersebut adalah saya selalu gagal memahami hakikat hidup yang baik dan benar. Kadang saya baik, tapi belum benar. Kadang juga benar, tapi belum masih baik. Maka jika hal tersebut juga terdapat pada yang selain saya, barangkali kita perlu bersama-sama untuk saling belajar dengan rendah diri bahwa yang terbaik di antara kita adalah yang paling keras berusaha untuk selalu baik, dan benar tentunya.

Hidup itu Amanah
Jangan lupa, kita tidak pernah bikin proposal khusus kepada Tuhan untuk memesan hidup kita dengan segala fasilitasnya: orang tua, tempat lahir, bentuk badan dan seterusnya. Sepakat dengan apa yang dikatakan Cak Nun: manusia itu 0% atas semua hidupnya. Pemegang saham seratus persen terhadap hidup kita adalah Allah. Dialah yang mencipratkan gejala sifat hayatNya kepada kita, bukan karena kita memintanya. Orang tua adalah sarana akselerasi hidup kita yang disediakan Allah SWT.

Kalau tidak percaya, tolong jawab pertanyaan ini: Anda punya cermin, tentunya Anda tahu wajah Anda, kenapa wajah Anda seperti itu? Kalau jawabannya karena faktor orang tua, kenapa orang tua Anda juga berwajah seperti itu? Kalau jawabannya masih terus ke kakek dan nenek Anda, ini yang namanya tasalsul: sebuah mata rantai kausalitas yang tidak pernah selesai. Dan hal itu mustahil. Sebab semesta ini berasal dari satu pusat yang abadi dan transendental: Allah Azza wa Jalla. Dan yang menghendaki kita semua berwajah seperti apapun adalah mutlak kehendakNya. Termasuk masuk pula bentuk-bentuk pada makhluk-makhluk yang lain, baik menyangkut fisik, fisiologis dan kebiasaan-kebiasaannya.

Lalu kita perlu santai saja untuk mengakui: hidup kita sebenarnya hak Allah, yang dipinjamkan pada kita. Tugas kita adalah menjaga amanah hidup ini berdasarkan niat baik dan ikhtiar dalam keluasan takdirNya. Ikhtiar adalah memilih yang terbaik dari segala yang sudah disediakan olehNya. Baik-buruk adalah pilihan. Memilih untuk menjadi yang terbaik di hadapanNya adalah hak dan kewajiban sekaligus.  

Hidup dengan Basmalah
Kalau pelan-pelan saya bertanya: bagaimana cara hidup yang benar? Biasanya, kita punya kecenderungan untuk selalu mengejar apapun saja yang kita yakini dapat memberikan kebahagiaan dalam hidup. Walaupun jelas, pemahaman dan penafsiran orang tentang kebahagiaan itu sendiri sangat variatif. Juga cara untuk meraihnya cukup beragam, bahkan kadang bertentangan satu sama lain.

Saya selalu ingat pesan guru ngaji waktu kecil di kampung: kalau hidupmu ingin selamat dari segala sihir, maka amalkanlah basmalah. Ia akan menutup sembilan lubang dalam tubuhmu dari pengaruh yang tidak baik. Sihir adalah sebuah tipu daya, sekian tipu daya yang paling berbahaya adalah dunia dengan segala tetek bengiknya. Maka dunia dalam perspektif religius adalah sesuatu yang punya potensi untuk menipu. Kita yakin, misalnya, kita bisa hidup tengan dengan rumah mewah, lalu Tuhan memerintrahkan kepada api agar membakar rumah kita, maka kitapun merasa kehilangan dan tenggelam dalam kesusahan. Masih banyak contoh yang lainnya.

Sihir dunia masuk ke dalam diri kita melalui salah satu sembilan lubang dalam tubuh, sesuai jumlah bunyi kata pada lafadz basmalah, yang semuanya mempunyai sinyal sambungan ke otak dan hati. Maka basmalah di sini memiliki dua fungsi: fungsi mejaga pikiran dan hati dari dalam dan menangkal segala pengaruh buruk dari luar. Pilihan kita dalam hidup hanya satu: arahkan hidup menuju Allah SWT. karena di sana tersedia ar-Rahman dan ar-Rahim. Kasih sayang Allah SWT. pada kita akan menjaga hidup tetap bersih sampai akhirnya kita semua kembali kepadaNya. Kalau ada di antara kita yang tidak percaya: coba aja!

Seorang guru yang lain, pernah bercerita bahwa yang orang-orang Madura mengartikan bismillah (basmalah) sesuai bunyi katanya sebagai berikut: bis = acabis, mil = pacomil, lah = ka Allah. Kalau diterjemahkan ke bahasa yang lain, menjadi: sering-seringlah sowan (bertamu) kepada Allah. Tuhan menjadi kebutuhan primer, bahkan melebihi segala kebutuhan lain dalam kehidupan manusia. Ini menunjukkan kearifan tauhid yang cukup tinggi dalam masyarakat Madura.

Hidup dengan basmalah berarti hidup dengan menjaga diri dari pengaruh buruk dunia, yang pertama. Kebebasan dari sihir dunia akan membuat seseorang lebih bergairah untuk terus-terusan membangun hubungan, mendekati dan berteman dengan Allah, ini yang kedua. Dunia dan Tuhan adalah dua hal yang menciptakan jalan yang bertolak belakang. Menuju Tuhan berarti meninggalkan dunia, mendekati dunia berarti menjauhi Tuhan.

Orang Hidup Jangan Mati
Manusia hidup itu, aplikasinya, mengacu pada fungsi kerja. Biasanya berupa kumpulan aktivitas yang dikemas dalam kaleng nilai dan budaya yang tidak terhitung jenis macamnya.. Ada yang manis dengan aktivitas duniawi saja, ada yang ke arah transendental, ada individualis, ada sosialis, macam-macam dengan variasinya sendiri-sendiri. Saya hanya bermaksud menyampaikan: siapapun kita, apapun baju kita, jangan sampai bikin hidup kita mati sebelum waktunya.

Hidup pada intinya adalah bekerja. Apapun yang dikejar-kejar dan didapat oleh manusia adalah untuk keperluan hidupnya. Makan minum tidur tertawa ngobrol semua untuk kelangsungan hidup. Walaupun ada di antara kita yang berbalik: hidup untuk sekedar makan dan minum. Namun di sini saya perlu pertegas tentang kerja: ia meliputi wilayah vertikal dan horizontal. Kita shalat puasa naik haji, itu berarti kerja dalam wilayah vertikal. Horizontalnya: ya bantu orang, gotong royong, bangun jembatan, menyapu halaman rumah dan seterusnya. Yang terpenting dari semuanya adalah niat kita dalam kerja di wilayah apapun harus sebagai ibadah: persembahan ikhlas seorang hamba terhadap Tuhan, dengan mengetahui hakikat kelemahan diri dan keagunganNya. Wallahu a’lam bisshawab!


Peara, Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar