sumber: arsip peara |
Mahasiswa
diyakini oleh mayoritas kalangan sebagai kelas menengah yang mampu memainkan
peran ganda: mengalir ke bawah bersama masyarakat kebanyakan dan
menguap ke atas mempengaruhi pusat kendali hegemoni kekuasaan, baik penguasa
maupun pengusaha. Peran
ganda itulah yang menempatkan mahasiswa sebagai pioner terdepan dalam setiap
perubahan dan pembaruan yang lebih maslahah dan berkeadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Tak terkecuali masyarakat di derah pinggiran dan pedalaman
yang sudah terbiasa dilupakan dalam proyek pembangunan.
Bertolak
dari peran penting inilah, keberadaan mahasiswa di tengah-tengah masyarakat menjadi
sebuah keniscayaan dan memang merupakan habitat yang harus digeluti, agar tidak
sekedar menjadi hiasan menara gading. Mahasiswa harus punya ruang gerak yang jelas
dan terencana untuk melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang
berkeadilan dan berperadaban. Boleh saja kepentingan kuliah hanya mengejar
target pasar dan pekerjaan, namun jangan sampai mengesampingkan tugas utama
sebagai pendamping masyarakat, apalagi membangun persekongkolan dengan kelompok
kapital.
Mahasiswa
dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang, yang harus saling membentuk jalinan
simbiosis mutualisme dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera,
terutama di tingkat grass root, sebagai penguatan civil society
yang menjadi basis tegaknya demokrasi: kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat
hanya akan diperoleh melalui pemberdayaan yang berlangsung secara berkesinambungan,
yang berangkat dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Semuanya harus
berlangsung secara linear: jangan hanya dari, tetapi yang paling penting harus
untuk rakyat.
Pemberdayaan
adalah proses pemberian daya dan kemampuan bagi masyarakat untuk mengenali,
menganalisis, merumuskan dan menentukan jalan keluar bagi masalah yang mereka
hadapi secara mandiri. Dengan kata lain, masyarakat yang berdaya adalah
masyarakat yang mampu mengidentifikasi dan memenuhi segala kebutuhannya di masa
kini dan mendatang, bukan masyarakat yang berebutan mengambil bantuan uang
tunai yang diprogramkan pemerintah. Masyarakat yang punya etos kerja dan
semangat untuk berubah, bukan masyakat yang suka ngantri di kantor pos sambil
memegang Kartu Keluarga Harapan (PKH) dan sejenisnya.
Keberdayaan
masyarakat adalah unsur yang paling memungkinkan masyarakat untuk mampu
bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu
mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdayakan
masyarakat merupakan upaya untuk terus menerus meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat “bawah” yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan
dan keterbelakangan, baik secara kultural maupun struktural. Mereka tidak membutuhkan sebungkus nasi yang hanya bisa
dimakan sehari, tetapi mereka butuh cangkul dan lahan untuk bertani dan sistem
pasar yang memihak. Karena pada hakikatnya, meraka tidak lemah, tetapi
dilemahkan oleh sistem yang tidak adil dan diskriminatif, yang tidak akan
berubah hanya dengan raskin dan bantuan serupa lainnya.
Bantuan
berupa beras (atau lebih dikenal raskin) dan uang tunai bukanlah program
pemberdayaan dan sama sekali tidak menyentuh akar masalah kemiskinan yang terus
menjadi persoalan akut di negeri ini.
Bantuan semacam itu hanyalah cara mengatasi masalah yang instan, tidak objektif
dan manipulatif, apalagi ketika didukung oleh sistem yang rusak, yang menjadi
lahan tumbuh kembangnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), bukan KKN (kuliah
kerja nyata). Padahal yang dibutuhkan masyarakat adalah KKN (kuliah kerja
nyata) yang sebenarnya, dengan menjadikan mahasiswa sebagai pendamping utama
masyarakat, bukan hanya mematung di balik gedung.
Tan Malaka
pernah berujar bahwa “bila
kaum muda yang terpelajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk
melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Sudah
tiba waktunya bagi mahasiswa untuk menjadi pendamping masyarakat dalam
melakukan tindakan-tindakan revolusioner menuju mobilisasi sosial yang lebih
sejahtera dan merata, serta berkesinambungan. Sebagai insan akademik, bukan hanya menjadikan
masyarakat sebagai bahan diskusi, kajian dan tulisan serta mata pencaharian,
tetapi juga, bahkan harus, bergelut dan bersama-sama dengan mereka melakukan
perubahan yang semestinya.
Mengingat
peran strategis mahasiswa dalam pemberdayaan masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah Al Karimiyyah Beraji Gapura Sumenep, sebagaimana ini sudah banyak dilakukan oleh
kampus-kampus yang lain, melaksanakan kegiatan kurikuler KKN (kuliah kerja nyata)
berbasis PAR (participatory action research) sebagai pengejawantahan Tri
Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Selain itu, penyelenggaraan KKN berbasis PAR ini juga sebagai bentuk komitmen
STIT Al Karimiyyah dalam rangka menjadi media bagi pemberdayaan masyarakat yang
berkeadilan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua pihak dan unsur-unsur
yang ada dalam struktur masyarakat itu sendiri.
Kebijakan
ini terlihat agak terlambat, mengingat keberadaan kampus STIT Al Karimiyyah
memang di pinggiran kota Sumenep yang bersentuhan langsung dengan masyakat
bawah. Bahkan sebagian besar mahasiswanya memang berasal dari kelas proletar
tersebut. PAR sudah semestinya dijadikan model KKN yang dilaksanakan, disamping
sebagai persyaratan teknis meraih gelar sarjana, juga sebagai langkah awal
untuk mengembalikan mahasiswa pada komunitas asalnya. Bekerja bersama mereka
dan terus menerus melakukan pendampingan sampai terwujud sebuah perubahan yang
diharapkan.
Dengan
demikian, mahasiswa peserta KKN berbasis PAR ini, bukan menjadi tenaga kerja
bantu di masyarakat, yang hanya mengerjakan kebersihan kuburan dan masjid,
membuat petunjuk jalan, mengajar, mengecat dan merehab fasilitas umum, membuat
kue dan camilan, mendaur ulang sampar dan sejenisnya, tapi benar-benar berbaur
dengan dan bersama masyarakat untuk mencari, menemukan, dan menganalisis
masalah serta menetapkan cara penyelesaiannya melalui program yang disepakati
dan dikerjakan oleh masyarakat sendiri secara berkelanjutan. Peran mahasiswa KKN berbasis PAR hanya
sebatas pendamping masyarakat, bukan aktor utama dan masyarakat sebagai
pembantu dan sekaligus penontonnya.
PAR
ini tidak menempatkan mahasiswa sebagai sosok ilmuan yang sudah merasa tahu
lebih dulu kebutuhan masyarakat sebelum berdialog dengan mereka. Cukup membaca
referensi dan mereka-reka di balik meja, lalu sudah merasa memikirkan apa yang
dipikirkan masyarakat. Mahasiswa harus memulai tindakan dari realitas keseharian
masyarakat di sekitarnya. Bergabunglah dengan mereka, jangan menjadi generasi
yang tercerabut dari akarnya. Mahasiswa harus punya prinsip: mati hidup bersama
masyarakat!
(Tulisan
ini dijadikan sebagai pendahuluan Laporan KKN PAR di Desa Essang Kec. Talango
Kab. Sumenep Tahun 2016, dengan sedikit perubahan yang tidak merubah substansi
tulisan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar