Post Top Ad

authorHello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Learn More →

Post Top Ad

Minggu, 01 Januari 2017

Bukan Sembarang Kentut

sumber. kaskus.co.id
Salimah, seorang tetangga sebelah yang masih punya hubungan kerabat, suatu sore mengantarkan sebuah cerita: tentang karisma sebuah kentut! Salimah hanya seorang perempuan kampung, ia tidak pernah mondok di pesantren, hanya sekedar ngaji langgaran pada seorang kiai desa yang tak jauh dari kampungnya. Gairahnya untuk belajar tidak kalah dengan teman-temannya yang lain, makanya ia aktif di kegiatan kompolan-kompolan, yang biasanya selain berisi arisan, di dalamnya juga ada pengajian.

Salah satu kompolan pengajian yang ia ikuti diasuh oleh seorang nyai, sebutan untuk istri seorang kiai, dari salah satu pesantren yang ada di wilayah timur daya pulau Madura. Suatu hari, di rumah temannya yang mendapat giliran nangga’ (menjadi tuan rumah), di tengah-tengah pembacaan kitab oleh sang nyai, bersamaan dengan khusyu’nya para jamaah, suasana pengajian tiba-tiba dikacaukan oleh suara kentut yang begitu jelas. Ya, bunyi kentut, jelas sekali.

Semua mata hanya tertuju pada seseorang, yang menjadi sumber kentut berasal. Orang-orang hanya mampu memandang, bercampur heran, tanpa ada suara apapun untuk bertanya. Kecuali sang nyai yang seketika mencolek santri abdi dhalem yang duduk di sebelahnya, santri yang biasa mengantarkannya ke kompolan pengajian.

“Hei, kamu kok kentut sembarangan! Ini kan kompolan!”, protes sang nyai kepada santrinya. Si santri hanya diam menunduk. Ada desiran-desiran di hati dan pikirannya yang mendesak ingin keluar, tapi ia berusaha mengunci mulutnya untuk tetap diam saja. Ia tak ingin dibilang cangkolang, apalagi hanya oleh sekedar kentut. Ia buka lebar-lebar hatinya untuk menanggung malu oleh tuduhan gurunya.

Sementara puluhan pasang mata tak bisa dibohongi: mereka tetap terus memandang ke sumber asal kentut yang tak terduga itu. Bahkan mereka semakin heran saja dengan tingkah sang nyai, yang tampak tidak sekedar salah tingkah, tapi benar-benar bertingkah salah. Usai kompolan pengajian, baru perbincangan meledak-ledak dari mulut ke mulut, sampai terus dibawa pulang oleh jamaah masing-masing.

“Aku benar-benar kasihan sama santrinya itu. Kok bisa ya, si nyai yang kentut sendiri tapi santrinya yang dituduh?”, ujar Salimah menutup ceritanya. Di wajahnya tergores tanda tanya besar, tentang kentut seorang nyai, di saat beliau sedang ngajarin jamaahnya mengaji.

Jangan Kentut di Mulut
Kentut adalah bagian penting dari proses metabolisme tubuh. Kentut adalah sebuah produk atau out put yang memang harus dikeluarkan dari lubang khusus yang secara defaut sudah disediakan oleh Tuhan. Kentut adalah peristiwa yang wajar, bahkan kentut menyehatkan. Sehabis menjalani operasi medis tertentu, kentut sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu kehadirannya. Di saat-saat tertentu pula, kentut dapat menjadi anugerah yang penuh berkah.

Hanya saja, diperlukan sedikit kewaspaan dan kemampuan membaca suasana, ruang dan waktu, kapan sebaiknya kentut dikentutkan. Jangan sampai ada kesan ngentuti, jelas itu pelanggaran etika yang sulit ditoleransi. Hal yang wajar akan menjadi sangat tidak wajar, bila tidak tepat konteksnya. Kentut punya konteks tersendiri dalam kebudayaan orang-orang Madura.

Di zaman sekarang, kentut dapat berkembang sedemikian rupa dengan beragam jenis dan wujdunya. Bukan hanya secuil angin berbau tak sedap yang keluar dari dubur. Segala yang bau, baik berupa kata-kata atau ucapan seseorang, meskipun keluar dari mulut, akan ditengarai sebagai kentut, karena sama-sama bikin orang lain merongok.

Para sesepuh di Madura selalu memberi nasehat: jangan sampai mulutmu sama dengan duburmu, bisanya cuma ngeluarin kentut, kentut berupa angin dan kentut berupa ucapan. Pak D. Zawawi Imron pernah menulis puisi yang memuat satu lirik bahwa dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur. Apalagi mulut orang yang hanya mengeluarkan kentut, berupa kata-kata kotor yang dipoles oleh kebencian dan dendam yang tak berkesudahan.

Kentut di mulut lebih berbahaya dari pada kentut di dubur. Pertengkaran dan permusuhan yang mudah terjadi belakangan ini meruapakan salah satu implikasi logis dari kentut banyak mulut yang lepas dari kendali akal sehat. Orang begitu mudah mencaci, menyalahkan dan menyebarkan kebencian antar tetangga dan golongan, tanpa ada upaya untuk lebih berhati-hati dalam menjaga diri dan tali kasih sesama saudara. Jangankan berbuat salah, baru saja dianggap salah karena perbedaan pandangan, kabar buruknya sudah tersebar ke segala ruang melebihi angin berhembus.

Kenalilah Kentutmu
Namannya Sunawi, seorang teman masa kecil yang suatu malam pernah bikin geger di langgar, saat para santri sibuk mengaji. Ada suara khas yang keluar dari tubuh Sunawi, yang menyeruak di tengah gemuruh suara anak-anak mengaji. Sang kiai langsung bertanya tegas: “Siapa yang kentut?”, sebagian santri yang duduk di dekat Sunawi langsung menjawab serentak: “Sunawi, kiai…!”.

Keadaan berubah jadi sunyi. Sang kiai menasehati semua santrinya: kentut adalah anugerah bagi pemiliknya, tapi petaka bagi orang di sekelilingnya. Bahkan sang kiai bercerita bahwa dulu pernah ada seorang suami yang menceraikan istrinya, gara-gara si istri berkentut di depan banyak orang saat menghadiri undangan. Kentut benar-benar memalukan. Kentut yang dilepaskan sembarangan, menempati ruang yang rendah dalam ajaran kebudayaan orang-orang Madura.  

Kentut adalah simbol dari sebuah perbuatan yang hanya mementingkan diri sendiri. Perbuatan apapun yang berpotensi sama dengan kentut, hanya boleh dilakukan di saat seorang diri. Selama masih berada dalam lingkaran sosial, maka perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan bersama harus lebih didahulukan. Jangan sampai menjadi orang egois, dalam terminologi budaya Madura dikenal dengan sebutan: ngala’ kareppa dibi’ (ikut kemauannya sendiri).

Kenalilah kentutmu, beserta segala variabel dan benang merahnya. Dengan begitu, kentut akan menemukan konteks yang tepat, kapan dan di mana ia hendak dikeluarkan. Bermula dari kentut, segala kepentingan dan keinginan serta nafsu pribadi, harus dipahami betul momentumnya. Hampir setiap petaka sosial selalu bermula dari obsesi dan ambisi pribadi.

Mengedepankan kepentingan orang lain adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Madura. Biar sedikit sakit perut karena nahan kentut, bukan menjadi masalah besar, demi kebaikan bersama. Sikap semacam ini harus dimunculkan ulang dalam kehidupan sehari-hari, mengingat begitu banyaknya kentut yang berkeliaran dari orang-orang yang hatinya penuh rasa dengki dan benci.


Ares Tengah, 01 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar