Seni
Tayub merupakan sejenis kesenian tradisional masyarakat Madura, khususnya di
Sumenep, lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan, yang sedang mengalami dinamika mengejutkan.
Eksistensi seni tayub, yang terdiri dari kerawitan (najaga), sinden, tokang
tandhang (penayub), dan satu juru gelandang, menjadi semacam tradisi
masyarakat bawah yang tidak hanya sarat dengan nilai estetika, tetapi yang
tidak kalah penting adalah etika.
Estetika
seni tayub terletak pada visualitasnya, apa yang tampak dan bisa diamati serta
dinikmati mata, bukan hanya audio dengan cukup mengandalkan suara yang bagus
disaat ngejung. Sebab masyarakat lebih tertarik, dan lebih memerhatikan
cara tangdhang para penayub, dari pada materi suara mereka. Hal ini
wajar dan sah, jika ada beberapa penayub yang hanya bisa nangdhang, tapi
tidak bisa ngejung, karena pasti ada salah satu personil kerawitan yang
ditugaskan untuk ngejung, sesuai dengan gending yang dipesan penayub.
Sehingga sang penayub hanya tinggal menciptakan gerakan-gerakan tertentu,
mengikuti irama gendang dan gong, tanpa harus nembang / ngejung.
Sedangkan
etika seni tayub meliputi sejumlah hal yang sangat kompleks; mulai dari busana,
cara berjalan dan duduk, cara berbicara, merokok dan makan, bahkan sampai pada
materi kejung (tidak boleh ada unsur SARA) dan cara memperlakukan sinden. Semua
etika tersebut harus dimiliki oleh para penayub agar mampu meraih simpati dan
empati dari masyarakat pengggemar, layaknya bintang sinetron di dunia
telenovela.
Kegengsian
Sosial
Sebagai
kesenian rakyat, keberadaan seni tayub mampu menembus ke semua segmen struktur
sosial masyarakat pedesaan, pesisir dan pedalaman. Meskipun dengan biaya yang
sedikit mahal, untuk ukuran ekonomi rakyat kebanyakan, hampir setiap ada
hajatan pertunangan dan pernikahan, seni tayub dipastikan menjadi ajang hiburan
dan sajian utama yang sekaligus menjadi simbol martabat tuan rumah. Latar
belakang ekonomi yang di bawah rata-rata, mampu dikalahkan dengan semangat adu
gengsi dan dukungan antar teman yang solid (group), serta sistem tompangan,
baik berupa uang atau barang, sehingga seni tayub mampu bergerak lebih cepat
dan merata, no limit. Maka, pertimbangan yang dipakai sangat pragmatis, yang
penting ngadakan tayuban dulu, soal hutang dan lain-lain, urusan
belakangan.
Oleh
karena itu, pada perkembangan selanjutnya, seni tayub bukan hanya menjadi
tradisi yang membudaya, namun telah berubah semacam kegengsian sosial dan harga
diri struktural yang dipaksakan. Lambat laun, seni tayub akan menjadi narkoba
kebudayaan yang membuat para penggemarnya kecanduan sampai tercipta
ketergantuan yang permanen. Sehingga hal tersebut akan menghilangkan daya
kritis dan sikap arif dalam melihat seni tayub sebagai kreasi atau hasil cipta
rasa karsa manusia, yang harus selalu dikontrol dan dilestarikan sebagai wadah
kesenian tradisional, yang kaya akan makna dan kearifan lokal.
Gamelan
(gambang) misalnya, terdiri dari 17 bilah kayu yang menunjukkan 17 raka’at shalat dalam
sehari semalam. Ini melambangkan bahwa para warga seni tayub jangan sampai
meninggalkan shalat hanya karena alasan kesenian, sebab dalam filosofi seni
tayub, seni adalah bagian dari agama. Seorang seniman sekaligus seorang agamawan.
Tujuan berkesenian adalah mengasa kepekaan rasa agar lebih mudah diajak
beribadah kepada Allah. Makanya, ada gong besar yang ketika ditabuh berbunyi
“gung”, maksudnya “Yang Maha Agung”, agar dalam berkesenian hati tetap
bersambung kepada Allah SWT.
Geliat
Kemuraman
Melihat
seni tayub secara lebih dekat dewasa ini, akan tampak ada perbedaan yang sangat jauh dibandingkan dengan seni
tayub tahun 90-an misalnya, saat saya masih dalam masa kanak-kanak. Perbedaan ini, bahkan sangat mencolok dalam beberapa hal, yang akan
penulis kritisi satu persatu, demi menjaga nilai estetika dan etika seni tayub
itu sendiri, agar tetap menjadi hiburan yang penuh kearifan lokal, dan steril
dari pengaruh budaya pop global yang serba vulgar.
Perbedaan
pertama dapat dilihat dari satu sudut pandang bahwa pagelaran seni tayub
merupakan ajang besar atau semo raje, sehingga busana yang digunakan
harus estetis dan etis: indah dan baik. Tradisi masyarakat penayub zaman dulu
dalam berbusana adalah memakai kopyah hitam (nasional), baju lengan panjang,
dan sarung sampai mata kaki, dan sebagian pakai jaspen. Kesopanan dalam
berbusana adalah harga mati, selain keahlian dalam seni tangdhang. Tidak
semuanya, tapi sebagaian para penayub sekarang hanya pakai kaos oblong, pakai
celana pensil dan tidak pakai kopyah. Kesopanan dalam berbusana sudah tidak
menjadi pertimbangan yang utama.
Perbedaan
kedua terletak pada seni tangdhang, dan secara langsung juga berkaitan
dengang merk / jenis gending yang digunakan. Para penayub kuno hampir
semua menguasai tangdhang puspo (salah satu jenis gending yang sangat
halus, biasanya digunukan oleh para raja / rato), yang menjadi tolak ukur
utama semua jenis tangdhang dalam berbagai jenis gending. Dan
umumnya gending yang digunakan adalah puspo, senom, sekar ganggung, meskalan,
walang keke’, yang bernuansa agak halus, atau paling kasarnya adalah pedat, dan
sampa’. Sementara sekarang, karena mayoritas penayub memang sudah tidak
menguasi seni tangdhang yang baik, tinggal bergerak-gerak saja tanpa
nuansa estetika sama sekali, dengan diiringi gending yang agak kasar
seperti gunung sari, toccek, bindrung, kuda nyirik, bahkan lagu-lagu popular
seperti sakitnya tuh di sini, cinta satu malam, pokoke joged dan oplosan.
Perbedaan
ketiga terdapat pada cara memperlakukan sinden. Para penayub dulu mayoritas
menjaga etika ketika berduet dengan sinden di gelanggang. Jarang terjadi
sentuhan langsung, bahkan mereka saling nangdhang dan ngejung dalam jarak yang
proporsional. Para pengirim (uang) juga selu menjaga diri dengan tidak berbuat
hal-hal yang melanggar etika dan adat. Belakangan ini, para penayub sudah mulai
sedikit melalaikan etika tersebut, bahkan terlihat berlebihan dalam hal-hal
tertentu.
Peara, 21 Desember 2014
Pergeseran nilai seni tayup merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Persoalannya, apa sumbangsih kita untuk mengembalikan nilai seni tayup seperti semula? Tentunya kata dan sikap harus sama-sama ideal.
BalasHapusKita harus bikin seni tayub tandingan yang dikomandani oleh kaum santri. Itu langkah konkritnya.
BalasHapus