sumber: liputan6.com |
Madura, hari ini seperti primadona
bagi para sekelompok investor asing. Laksana gadis perawan yang diperebutkan
oleh korporasi transnasional dan agenda eksploitasi kerakusan kapitalisme
global. Ternyata, di balik tekstur tanah tegalan, bongkahan batu yang bisu,
tidur merangkum nyala –meminjam kalimat puisi D. Zawawi Imron– menyimpang
segudang sumber daya alam yang tak terhingga. Pasokan energi yang disediakan
oleh Madura, menjadi rebutan kepentingan banyak kawanan manusia beruang.
Madura bukan hanya tanah, laut, bukit,
garam dan kekayaan alam lainnya yang tersembunyi di dalam. Madura adalah poros
kebudayaan nusantara, yang menjadi arena akulturasi kerarifan lokal, Jawa dan
Islam yang dimotori oleh para wali, kiai dan pesantren. Semakin ke Timur,
semakin jauh dari Jawa, justru tradisi dan kebudayaan Madura semakin mengental
dalam kehidupan masyarakatnya. Sumenep menjadi lokus paling sentral kelahiran,
perkembangan, kemajuan dan tentu juga kemunduran kebudayaan Madura.
Kebudayaan Madura menampilkan sebuah
citra kultural yang yang unik dan kompleks. Ia tersulam oleh beragam
nilai-nilai yang disarikan dari unsur keislaman, mistisisme, alam lingkungan,
dan sejumlah kearifan lain yang berupa adat kebiasaan yang beragam. Memamahi
kebudayaan Madura diperlukan kesabaran dan daya nalar yang tidak gampang.
Kompleksitas yang terselip di dalamnya menuntut kecerdasan tafsir dan keuletan
untuk menerjemahkan ke dalam berbagai kaidah dan pola hidup keseharian.
Jamal D. Rahman, seorang budayawan nusantara
asal Madura, dalam catatan pengantarnya atas buku “Rahasia Perempuan Madura”,
kumpulai esai yang ditulis Kiai Dardiri Zubairi, memberikan penjelasan bahwa
menangkap fenomena sosial-budaya Madura dari permukaannya belaka, bahkan bukan
saja tidak memadai, melainkan bisa menyesatkan. Diperlukan usaha menyelam jauh
ke dasar nomena berbagai fenomena sosial-budaya Madura, jika kita ingin
memahaminya dengan baik. Atau paling tidak, fenomena sosial-budaya Madura perlu
ditempatkan dalam konteks kebudayaan Madura itu sendiri.
D. Zawawi Imron: Pengenalan
Awal
Terdapat sederet nama yang agak
panjang yang terhitung sebagai budayawan yang terlahir dari rahim kebudayaan
Madura. Mereka adalah para “sapi kerapan” yang berlari kencang memperlihatkan
kebudayaan Madura sampai pada pelosok-pelosok nusantara dan bahkan negeri
orang. Salah seorang diantara mereka adalah D. Zawawi Imron, budayawan sepuh
Madura, yang tak tergoda oleh kemasyhuran sehingga tetap setia menetap di
kampung halamannya. Di sebuah perkampungan (Jambangan) Batang-batang yang masih
menyimpan aroma keaslian panorama alam pedesaan pulau Madura.
Dalam keseharian masyarakat Madura,
Zawawi lebih dikenal dengan sebutan kiai. Tak ayal, Zawawi sering diundang
masyarakat sekitarnya untuk memberikan tausiah keagamaan dari pada undangan
membaca puisi dan kegiatan kesusastraan lainnya. Namun demikian, di tengah
asyiknya bertausiah, Zawawi selalu menyelingi dengan beberapa lantunan sajak
dan pantun, sehingga suasana pengajiannya menjadi lebih hidup. Suatu hari,
dalam sebuah ceramahnya, Zawawi pernah berguyon bahwa sebenar dirinya adalah
seorang budayawan atau penyair, yang kemudian “dijeploskan” oleh Allah untuk
menjadi kiai.
Hidayat Raharja, seorang budayawan senior
Madura asal Sampang, menuturkan bahwa D. Zawawi Imron merupakan seorang
budayawan yang santun, ramah dan terbuka, bisa bergaul dengan semua kalangan
dan salah satu budayawan yang mampu mengangkat kultur dan peradaban Madura
dalam puisi-puisinya.
Hampir semua puisi yang ditulis Zawawi
selalu mecitrakan darah Madura. Metafor alam yang sering digunakan dalam
puisi-puisinya merupakan suguhan semesta yang ia nikmati setiap saat dalam
suasana alam perkampungan yang masih alami. Diksi-diksi yang tampak unik dan
tata bahasa yang agak melampaui aturan baku, merupakan cerminan paling nyata
dari adat keseharian orang-orang Madura, yang ia punguti di sudut-sudut
pesisiran, pedalaman dan bebukitan, yang kemudian disulam dengan kebeningan
hati, kejernihan pikiran dan lentik jemarinya menjadi sebuah sajak yang memukau
nurani jutaan orang.
Saya sendiri, sering mengintip
kebudayaan Madura melalui puisi-puisi yang ditulis Zawawi. Seolah ada semacam
pintu besar menuju berbagai kenyataan sosial-budaya masyarakat Madura yang
terekam begitu apik dalam lirik-lirik puisinya. Meskipun kini, sebagian hanya
tertuang sebagai kenangan belaka.
Dalam seuah wawancara proses kreatif,
bersama Abdul Wachid BS, dengan jelas Zawawi berujar: “Saya merasakan
kenikmatan tersendiri menuliskan alam dan orang Madura karena kehidupan mereka
merupakan bagian kebersamaan dengan saya sebagai makhluk sosial. Saya bercerita
tentang mereka, sebagaimana saya bercerita tentang diri saya. Sampai hari ini
pun, karenanya, saya tak pernah meninggalkan desa saya terlalu lama, saya tidak
tahan!”.
Betapa dekatnya potret kehidupan
orang-orang Madura bersama kebudayaan dan peradaban mereka dengan Zawawi,
yang kemudian dituangkan ke dalam
lirik-lirik puisi yang ditekuninya sejak tahun 1960. Meskipun antara teks dan
konteks, kadang tercipta jarak yang begitu jauh, namun Zawawi berhasil
mendekatkan bahkan menyatukan keduanya dalam beberapa puisi yang ia ciptakan.
Itulah alasan, mengapa Zawawi selalu
betah tinggal di kampung Jambangan. Menikmati tembang dusun siwalan, yang
senantiasa memutikkan sari-sari kerinduan. Dengan terus berbantal ombak dan
berselimut angin, Zawawi tak pernah berputus asa mengasah celurit emasnya,
meskipun bulan tertusuk lalang, dan cicit-cicit kelelawar menghimbau di ubun
bukit, ia tetap tak bergeming.
(Tulisan ini dimuat di Tabloid Mata Madura)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar