Membaca Indonesia hari ini seperti membaca sebuah
lautan lepas: walaupun ada satu gejala yang bisa diprediksi, tetapi tetap
menyimpan misteri. Ada banyak kemungkinan tak terduga yang barangkali akan muncul
ke permukaan, dan menambah tumpukan persoalan kebangsaan. Di Madura,
perbincangan mengenai Ahok dan peristiwa 411 masih belum selesai. Nama Ahok
sering menjadi buah bibir masyarakat Madura dan sedikit menggeser posisi pak
Jokowi sebagai presiden idaman. Bahkan di beberapa kompolan-kompolan,
yang memang menjadi tradisi masyarakat Madura, perbincangan mengenai Ahok
dengan kasus penistaan agamanya, selama 2 minggu terakhir ini, mampu membetot
perhatian banyak orang, sebagaimana juga terjadi di warung-warung pinggir
jalan.
Karena kemungkinan-kemungkinan tak terduga itulah,
seharusnya membuat pak Jokowi lebih mawas diri dan berhati-hati. Kejernihan
pikiran dan ketenangan hati merupakan modal utama disamping terus mendengar
bisikan-bisikan informasi dari para teleksandi tentang perkembangan terakhir
negeri ini. Pandangan-pandangan yang terhalang oleh syahwat kekuasaan dan
kesejahteraan golongan, mulai harus dipinggirkan secara perlahan-perlahan,
karena keselamatan bangsa dan Negara adalah segalanya.
Tulisan ini hanya berangkat dari kegelisahan
seorang petani Madura yang juga ikut serta merasakan hawa panas negeri ini yang
semakin dikompori oleh api sentimen keagamaan, kepentingan politik di sekitar
Pilgub DKI Jakarta, nasionalisme kacangan dan sekelompok pengacau amatiran yang
digerakkan oleh uang. Terlalu banyak kepentingan yang berseliweran di tengah
rumitisasi perpolitikan kita dan kemelut hukum yang tak berkesudahan. Inilah
momentum paling tepat bagi pak Jokowi, untuk merajut semua kalangan menjadi
bagian tak terpisahkan dalam proses berdemokrasi membangun NKRI, mulai dari
kelas pencuri sampai kiai, mulai dari petani sampai politisi.
Saya melihat bangsa ini masih terus menampilkan
citra abu-abu: tidak jelas mau ke mana. Beragam elemen memang memiliki aspirasi
yang berbeda, tapi setidaknya ada pola-pola universal yang bisa dijalankan dan
diterima oleh banyak kalangan. Dalam hal ini, pak Jokowi, bukan karena semata
sebagai presiden, tetapi karena juga karena karakter beliau yang mudah diterima
oleh semua pihak, supel dan luwes, diprediksi mampu memberikan satu harapan
terang akan nasib bangsa di masa depan. Untuk kepentingan itulah, ada sebuah
filosofi kepemimpinan Madura yang perlu ditengok sebentar, sekedar pelengkap
ilmu kedigdayaan pak Jokowi, agar semakin mantab sebagai presiden yang cukup
dekat dengan rakyat kebanyakan.
Di Madura, dikenal dua model kepemimpinan yang
memiliki filosofi masing-masing, terkait dengan pola interaksinya dengan rakyat
banyak. Filosofi ini lahir dari rahim kebudayaan Madura yang penuh dengan
nilai-nilai keluhuran. Walau sekilas tampak bertentangan, keduanya dapat
disandingkan sesuai kontek ruang dan waktu.
Pemimpin Ceret: Pemimpin yang Mendatangi
Model kepemimpinan yang pertama adalah pemimpin ceret.
Dalam bahasa yang lain, ceret ini serupa dengan cerek atau ketel: sebuah
wadah yang berfungsi untuk memanaskan air atau memang dijadikan sebagai tempat
untuk air panas. Selain ada tutup dan gagang sebagai pegangan, ceret
juga memiliki semacam saluran atau pancuran kecil yang berpungsi untuk sarana
penuangan air dan sejenisnya yang ada di dilamnya. Orang-orang Madura biasa
menggunakan ceret ini sebagai tempat menyimpan air, kopi atau teh yang nanti
tinggal dituangkan pada gelas atau cangkir ketika hendak meminumnya.
Sesuai fungsi dan kegunaannya tersebut, para
leluhur orang-orang Madura mengambil sebuah filososi bahwa pemimpin ceret
adalah pemimpin yang suka mendatangi rakyatnya. Gelas atau cangkir adalah simbol
dari rakyat. Akan tetapi, gelas atau cangkir tidak sama bahan dan bentuknya.
Ada yang kecil, sedang dan besar, ada pula yang terbuat dari tanah liat,
timbaga, plastik atau kaca. Meskipun secara umum berbentuk bundar (lingkaran),
model gelas juga berbeda: ada yang lurus, ada cekung, ada cembung, tentu dengan
motif yang berbeda-beda pula.
Pak Jokowi memiliki sosok yang tak jauh berbeda
dengan falsafah pemimpin ceret ini: sama-sama suka blusukan
mendatangi rakyatnya. Namun di masa-masa yang penuh ketegangan politis ini,
sepertinya pak Jokowi masih sedikit membeda-bedakan gelas yang harus didatangi.
Sudah ada banyak tokoh politik dan keagamaan yang disambangi, tapi masih ada
tokoh lain yang sedikit kurang mendapat perhatian sehingga sedikit menimbulkan
kecemburuan. Padahal, sebagai pemimpin yang berwatak ceret, pak Jokowi
seharusnya mengisi setiap gelas kosong dengan silaturrahim politik dan air persatuan
yang membawa damai. Merangkul satu tokoh dan “mencangkul” tokoh yang lain
adalah tindakan yang kurang bijaksana.
Gelas itu kan macam-macam, sebagaimana rakyat yang
juga beragam. Gelas yang besar seperti juga rakyat yang besar (masksudnya
rakyat yang sambil lalu jadi orang besar, seperti pemimpin partai, pemimpin
ormas, pemimpin Negara, dan pemimpin yang lain), jelas perlu diisi sesuai kapasitasnya
masing-masing. Kalau yang mau dituangkan itu berupa silaturrahim politis, maka
intensitasnya jelas tidak sama antara rakyat besar dan rakyat kecil. Semua
sesuai porsinya: pas tidak sampai tumpah atau kurang. Saya rasa, pak Jokowi
sudah mengerti akan hal ini, tapi masih diperlukan keberanian yang lebih dan
kebesaran jiwa untuk benar-benar bisa melakukannya.
Pemimpin Genthong: Pemimpin yang Didatangi
Model kepemimpinan yang kedua adalah pemimpin genthong.
Genthong adalah gentong, yaitu seperti tampayan besar yang terbuat dari
tanah liat dan biasanya dijadikan sebagai tempat menyimpan air. Genthong
tidak bisa menuangkan air, tapi gelas atau cangkir atau gayung yang harus
dimasukkan ke dalam untuk mencedok airnya. Dari sinilah filosofi dibangun:
pemimpin genthong adalah pemimpin yang lebih suka didatangi rakyatnya.
Pemimpin model genthong ini dianggap kurang
baik dalam kebudayaan Madura. Pemimpin model ini seperti sok jual mahal,
padahal sama rakyatnya sendiri, seperti kurang peduli. Meskipun demikian,
seburuk apapun citra pemimpin genthong dalam kebudayaan Madura, ia tetap
tidak akan lari ketika didatangi rakyatnya. Walaupun yang datang adalah ribuan
massa seperti massa aksi damai 411, ia tetap akan menemui dan memberikan apa
yang memang dibutuhkan rakyatnya.
Ares Tengah, 15 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar