catatan kebudayaan orang-orang pesisiran

Rabu, 15 April 2015

Kampus Darurat dan Mahasiswa Lokal


Suatu siang, siang yang benar-benar siang, HP saya berdering sangat keras: seolah menunjukkan orang di seberang sana sedang serius. Ketika tombol terima panggilan saya tekan, tanpa salam teman saya langsung nyerocos: “Menurut kamu, apa bedanya kampus dengan penjara?”. Saya sendiri bingung, bukan soal jawaban atau nada geram teman saya, tetapi mengapa harus penjara? Kampus kok penjara? Hukum logika apa yang dapat menghubungkan kampus dengan penjara?

Pertanyaan itu lama-lama membangun molekul-molekul pemikiran di kepala saya, sekaligus membuka kembali lembaran-lembaran seputar pendidikan, yang sampai sekarang masih seperti mesin rusak. Lamat-lamat, di tengah riuh suara teman saya yang bercerita soal “kecelakaan kecil” di kampusnya, soal perilaku individual dosennya, pikiran saya benar-benar muncul. Begini selanjutnya:

Kekacauan Istilah
Salah satu polarisasi dunia global adalah retaknya sekat-sekat pemisah ideologi, ilmu pengetahuan dan istilah-istilah budaya yang sudah jelas ruang lingkup dan habitatnya. Pasar yang biasa dkenal sebagai taransaksi jual beli, berubah menjadi ruang perampokan sistemik bagi sekelompok kaum kapital. Sekolah dan kampus yang lazim dikenal sebagai media belajar dan pengembangan diri, menjadi sarang perbudakan ilmiah dan feodalisme akademik.

Maka, jangan 100% percaya, jika ada mahasiswa yang berkata “saya akan pergi ke kampus”, langsung dipahami saya akan pergi belajar. Sebab, dalam dunia yang penuh konspirasi dewasa ini, bisa saja dia telah terperangkap ke dalam sebuah sistem, yang sengaja direncanakan sebagai generasi penerus kemapanan dan ideologi dominan, entah dari pemeritah, dosen, atau dirinya sendiri, yang soft ware-nya sudah diimpor dari luar sana.

Kekacauan ini cukup beralasan, mengingat banyaknya istilah-istilah yang biasa kita pakai, tapi sedikit saja yang bisa kita pahami makna dan implikasinya. Seorang guru atau dosen, merasa sudah melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, apabila mereka berhasil menyodorkan (dalam konteks tertentu MEMAKSAKAN) beragam informasi ilmiah kepada mahasiswanya, mengadakan ujian dan penilaian teknis, serta mengumumkan hasilnya. Dan mahasiswa sudah merasa menjadi mahasiswa dengan pulang pergi ke kampus secara rutin, mendengarkan kuliah dosen, menjawab soal-soal semester, dan yang paling wajib: membayar segala biaya kuliah.

Padahal kata “kuliah” berasal dari bahasa Arab, kull, yang berarti setiap atau semua. Mahasiswa adalah yang belajar tentang semua, apa saja, dengan menggunakan semua: indra, akal dan hati. Sehingga lahirlah mahasiswa yang benar-benar kuliah, mempelajari semua ilmu, tidak terbatas pada fakultas yang terkotak-kotak dalam berbagai jurusan, apalagi sekedar merasa cukup dengan ceramah dosen. Jangan lupa, kita ini mahasiswa universal, bukan lokal.

Dosen dan Para Duplikatnya
Ketika saya masih kuliah di luar Madura, tepat saat ujian semester I, sebelum menjawab soal-soal yang diberikan, saya bertanya kepada dosen pengampunya. ‘Pak, saya menjawab soal-soal ini, sesuai dengan pemahaman saya atau sesuai penjelasan bapak?” Dengan sangat percaya diri dan penuh wibawa, beliau menjawab “sesuai dengan keterangan saya”.

Hati saya sedikit geli dan tak bisa mengekang tawa. Lho, saya ini manusia pribadi yang mandiri atau duplikat dosen? Kesalahan terbesar sebagian –semoga– kecil guru dan dosen kita adalah ketika mereka dengan gagah berani memproyeksikan dirinya sebagai sumber ilmu pengetahuan di hadapan para mahasiswa. Apa yang mereka pikirkan benar, adalah benar bagi mahasiswa. Apa yang mereka ketahui harus diketahui mahasiswa. Padahal, persoalan mencari informasi ilmu pengetahuan adalah hak privasi setiap mahasiswa yang sangat bisa dijalaninya sendiri secara bebas, kapan saja di mana saja.

Mahasiswa bukan ruang kosong yang harus selalu diisi. Apalagi dengan segala bentuk pemaksaan yang sangat tidak manusiawi, justru disaat mereka sedang menjalani proses kemanusiaannya. Meskipun hal itu didasarkan pada niat baik untuk membangun kedisiplinan belajar masasiswa, tapi formulasinya tetap keliru. Niat yang baik tidak serta merta mengahalalkan sesuatu yang tidak baik: memaksa dan menutup ruang kebebasan akademik mahasiswa. Membantu mahasiswa menjadi dirinya sendiri, sebagai sebagai duplikat diri dosennya.

Namun di balik itu semua, mereka adalah para kekasih Allah SWT, yang diutus kepada kita untuk menyampaikan rahmatNya, dengan cara mereka sendiri-sendiri, mulai dari yang menyakitkan sampai yang menyenangkan. Tapi, itulah kasih sayang yang bisa terwujud lewat apa saja. Namun perlu diingat, ini bukan kampus darurat!

(Tulisan ini dimuat di STIA Pos Edisi 11 Oktober 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar