Suatu siang, siang yang benar-benar
siang, HP saya berdering sangat keras: seolah menunjukkan orang di seberang
sana sedang serius. Ketika tombol terima panggilan saya tekan, tanpa salam
teman saya langsung nyerocos: “Menurut kamu, apa bedanya kampus dengan
penjara?”. Saya sendiri bingung, bukan soal jawaban atau nada geram teman saya,
tetapi mengapa harus penjara? Kampus kok penjara? Hukum logika apa yang dapat
menghubungkan kampus dengan penjara?
Pertanyaan itu lama-lama membangun
molekul-molekul pemikiran di kepala saya, sekaligus membuka kembali
lembaran-lembaran seputar pendidikan, yang sampai sekarang masih seperti mesin
rusak. Lamat-lamat, di tengah riuh suara teman saya yang bercerita soal
“kecelakaan kecil” di kampusnya, soal perilaku individual dosennya, pikiran
saya benar-benar muncul. Begini selanjutnya:
Kekacauan Istilah
Salah satu polarisasi dunia global
adalah retaknya sekat-sekat pemisah ideologi, ilmu pengetahuan dan istilah-istilah
budaya yang sudah jelas ruang lingkup dan habitatnya. Pasar yang biasa dkenal
sebagai taransaksi jual beli, berubah menjadi ruang perampokan sistemik bagi
sekelompok kaum kapital. Sekolah dan kampus yang lazim dikenal sebagai media
belajar dan pengembangan diri, menjadi sarang perbudakan ilmiah dan feodalisme
akademik.
Maka, jangan 100% percaya, jika ada
mahasiswa yang berkata “saya akan pergi ke kampus”, langsung dipahami saya akan
pergi belajar. Sebab, dalam dunia yang penuh konspirasi dewasa ini, bisa saja
dia telah terperangkap ke dalam sebuah sistem, yang sengaja direncanakan sebagai
generasi penerus kemapanan dan ideologi dominan, entah dari pemeritah, dosen,
atau dirinya sendiri, yang soft ware-nya sudah diimpor dari luar sana.
Kekacauan ini cukup beralasan,
mengingat banyaknya istilah-istilah yang biasa kita pakai, tapi sedikit saja
yang bisa kita pahami makna dan implikasinya. Seorang guru atau dosen, merasa
sudah melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, apabila mereka berhasil menyodorkan
(dalam konteks tertentu MEMAKSAKAN) beragam informasi ilmiah kepada
mahasiswanya, mengadakan ujian dan penilaian teknis, serta mengumumkan
hasilnya. Dan mahasiswa sudah merasa menjadi mahasiswa dengan pulang pergi ke
kampus secara rutin, mendengarkan kuliah dosen, menjawab soal-soal semester,
dan yang paling wajib: membayar segala biaya kuliah.
Padahal kata “kuliah” berasal dari
bahasa Arab, kull, yang berarti setiap atau semua. Mahasiswa adalah yang
belajar tentang semua, apa saja, dengan menggunakan semua: indra, akal dan
hati. Sehingga lahirlah mahasiswa yang benar-benar kuliah, mempelajari semua
ilmu, tidak terbatas pada fakultas yang terkotak-kotak dalam berbagai jurusan,
apalagi sekedar merasa cukup dengan ceramah dosen. Jangan lupa, kita ini mahasiswa
universal, bukan lokal.
Dosen dan Para Duplikatnya
Ketika saya masih kuliah di luar
Madura, tepat saat ujian semester I, sebelum menjawab soal-soal yang diberikan,
saya bertanya kepada dosen pengampunya. ‘Pak, saya menjawab soal-soal ini,
sesuai dengan pemahaman saya atau sesuai penjelasan bapak?” Dengan sangat
percaya diri dan penuh wibawa, beliau menjawab “sesuai dengan keterangan saya”.
Hati saya sedikit geli dan tak bisa
mengekang tawa. Lho, saya ini manusia pribadi yang mandiri atau duplikat dosen?
Kesalahan terbesar sebagian –semoga– kecil guru dan dosen kita adalah ketika
mereka dengan gagah berani memproyeksikan dirinya sebagai sumber ilmu
pengetahuan di hadapan para mahasiswa. Apa yang mereka pikirkan benar, adalah
benar bagi mahasiswa. Apa yang mereka ketahui harus diketahui mahasiswa.
Padahal, persoalan mencari informasi ilmu pengetahuan adalah hak privasi setiap
mahasiswa yang sangat bisa dijalaninya sendiri secara bebas, kapan saja di mana
saja.
Mahasiswa bukan ruang kosong yang
harus selalu diisi. Apalagi dengan segala bentuk pemaksaan yang sangat tidak
manusiawi, justru disaat mereka sedang menjalani proses kemanusiaannya.
Meskipun hal itu didasarkan pada niat baik untuk membangun kedisiplinan belajar
masasiswa, tapi formulasinya tetap keliru. Niat yang baik tidak serta merta
mengahalalkan sesuatu yang tidak baik: memaksa dan menutup ruang kebebasan
akademik mahasiswa. Membantu mahasiswa menjadi dirinya sendiri, sebagai sebagai
duplikat diri dosennya.
Namun di balik itu semua, mereka
adalah para kekasih Allah SWT, yang diutus kepada kita untuk menyampaikan
rahmatNya, dengan cara mereka sendiri-sendiri, mulai dari yang menyakitkan
sampai yang menyenangkan. Tapi, itulah kasih sayang yang bisa terwujud lewat
apa saja. Namun perlu diingat, ini bukan kampus darurat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar